Sabtu, 22 September 2012

Simfoni dibawah Pohon Camplung



Mentari telah kembali ke peraduannya, sinarnya pun digantikan oleh sang Rembulan yang perlahan-lahan merangkak ke atas langit malam. Tapi aku masih terdiam disini, di tepi pantai di bawah kerindangan pohon Camplung ini ditemani oleh deburan ombak, menunggu ketidakpastian akan sebuah cinta. Masih segar di ingatanku, mengenai sebuah kisah yang terjadi di bawah pohon ini. Kisah yang terlalu indah untuk dilupakan begitu saja. Kenangan itu kembali mengusik pikiranku, membuat anganku melayang ke masa disaat kisah itu terjadi.
***
Kisah itu terjadi setengah tahun lalu…
Hari itu, hari pertama liburan musim panas. Aku mengendarai motorku dengan malas menuju pantai, untuk membantu bunda ku di toko milik keluarga kami. Sejak hubunganku dengan Bram berakhir ditengah jalan, ‘sindrom’ malas mulai menguasai diriku. Malas makan, malas mandi, malas sekolah, dan malas-malas lainnya. Yah, mungkin inilah namanya putus cinta, apapun yang aku lakukan selalu teringat akan dia. Bahkan karena shock akan keputusan Bram yang terlalu mendadak, aku sempat jatuh sakit. Dan rasa sakit akan keputusan Bram mengakhiri hubungan ini lebih sakit daripada sakit gara-gara sakit gigi. Itulah yang membuatku sangat setuju dengan lirik lagu Meggy Z, “…daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi…”. Siapa coba, yang mau sakit hati! Mending sakit gigi donk, daripada sakit hati!
“PRITTT….”
Sebuah suara peluit sontak membuyarkan lamunanku, nyaris menjatuhkan ku dari motorku. Tiba-tiba muncul sesosok pria bertubuh jangkung dan ber-tatto  yang menghadang jalan motorku, tangannya mengepal. Ada apa ini tuhan! Suaraku tercekat di tenggorokan, ketakutanku semakin menjadi, hingga suaraku terdengar mendecit. Namun sesaat aku sempat terpesona pada pria itu.
“Heh!Bayar Parkir dong!” seru pria itu.
APA??? Seruku membatin, “Ooh,, Iya nanti aku bayar deh” sahutku ringan, biasanya juga aku nggak pernah bayar parkir!
“Liat tulisan disana kan? Masuk Rp. 1000” tunjuknya kearah plang parkir.
“Iyaiyalah liat, dikira aku buta apa??” Gerutuku kecil.
“Yaudah, bayar sekarang!” bentaknya.
“Oke, aku bayar sekarang!” seruku balik membentaknya, sambil mencari-cari uang di saku celanaku. Akan tetapi aku tak menemukan uangku dimanapun, kepanikan mulai menyerangku, dan Malu tentu saja!
“Cepetan woi!!” seru pria itu lagi.
Aku tetap bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Seandainya saja Tuhan dapat membuatku menghilang saat ini juga, benar-benar memalukan!
“Huuh, cantik-cantik nggak punya du…” katanya, namun segera terpotong seruan seseorang.
“Lita!!! Bunda tungguin dari tadi, kemana aja?” tanya wanita paruh baya itu, yang ternyata adalah bundaku.
“Bunda??” gumam pria itu.
“Bund, ada uang seribu nggak? Aku disuruh bayar parkir sama orang itu” kataku sambil merajuk, tanpa mempedulikan tatapan mata pria menyebalkan itu.
“Ooh, nak Dika ini anak tante. Nanti tante yang bayarin parkirnya dia ya?” kata bunda.
“Oh, jadi cewek ini anak tante? Hehe,, nggak usah dibayar deh tante” ucapnya sambil memamerkan deretan giginya, dan aku tahu ia sangat MALU.
“Makanya, nanyak dulu dong!!” seruku, sambil menjulurkan lidahku.
“Udah ah, malu. Ayo kamu bantu bunda ditoko” kata bunda melerai kami, sesungguhnya sih menyeretku pergi.
Bunda ku memang memiliki sebuah toko dipinggir pantai, sebagai sumber penghasilan keluarga kami. Dulu Bunda dan Ayahku bertemu di Pantai ini, batinku ketika teringat kisah Bunda dan Ayahku itu. Tanpa sadar aku mengulum tawaku, jika membayangkan kisah itu.
“Litaa, kamu mau bantu Bunda atau bengong? Cepetan!” kata Bunda, membuyarkan lamunan ‘gak penting’ ku itu.
“Iya Bunda, ini Lita udah cepet kok!” sahutku sambil setengah berlari menghampiri bunda dari seberang jalan.
Namun, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dari arah kiri. Aku yang terburu-buru menghampiri bunda tak sempat menghindari mobil itu, beruntung sebuah tangan dengan ‘keren’nya menarik dan menahanku agar tidak jatuh.
“Terima,, ka…” ucapku, namun segera terpotong melihat siapa pemilik ‘tangan’ yang menolongku tadi.
“Kamu?? Nggak usah sok pahlawan deh!” lanjutku.
“Bukannya berterima kasih,malah ngatain orang. Kenapa nggak kubiarkan saja dia mati tadi” gumam si tukang parkir itu.
***
Semenjak itu hidupku perlahan-lahan mulai berubah. Aku menjadi cukup rajin membantu bunda di toko, hampir setiap hari. Walaupun di siang hari pasti aku izin pulang ke rumah untuk nonton drama korea favoritku. Ada sesuatu yang menarik akan pria yang bernama Andika itu, entahlah.
Awalnya aku ketakutan pada pria itu, bagaimana tidak. Tampangnya seratus persen menakutkan, PREMAN banget! Pria bertubuh jangkung, dengan Tatto yang menghiasi tangan kanannya, serta rokok yang selalu ada ditangannya, membuatnya terlihat tambah menakutkan. Akan tetapi, ada satu hal yang membuatku menahan senyum melihat penampilan preman satu ini, Lesung Pipitnya yang sangat manis! Dapat dibayangkan jika melihat seorang preman memiliki lesung pipit, terlihat sangat Manis! Namun, ketika aku semakin mengenalnya, aku merasa tanggapanku terhadapnya pertama kali itu salah besar. Andika bukan orang yang jahat, dia baik…
Dan itu memang benar, walau awalnya ia terlihat menakutkan dan sedikit kasar namun sebenarnya ada kebaikan didalamnya. Dia selalu menolongku, menghidupkan lampu toilet yang cukup tinggi (atau aku yang pendek?), mengantar sepeda, dan menutup toko jika ada masalah dengan pintunya. Terlihat biasa memang, namun hal-hal sedetail itulah yang menarik perhatianku.
Hingga akhirnya, sebuah rasa mulai tumbuh didada ini. Sebuah rasa tak ingin kehilangan dan rasa ingin memiliki. Aku coba ‘tuk menepis rasa ini, namun selalu gagal. Rasa ini malah semakin kuat, dan sulit untuk dipendam. Padahal, kami baru dua minggu berkenalan.
Suatu hari, dengan cara yang tak terduga dia meminta nomer ponselku. Ia beralasan meminjam sisir rambutku, karena ia baru saja mengganti warna rambutnya (bayangkan saja, tiga kali berganti warna rambut yang berbeda dalam satu hari!), pada saat itu ia menanyakan nomer ponselku. Dengan perasaan berdebar aku mengucapkan sederet angka yang telah ku hafal luar kepala.
Hari silih berganti, membuat kami semakin sering sms-an. Walau terkadang ia mengejekku habis-habisan, karena bensin motorku pernah habis ditengah jalan, kelalaianku menghilangkan kunci motor, dan banyak lagi kekonyolan yang kuperbuat. Sungguh memalukan!
Selain itu, ada sebuah kisah konyol yang aku yakin membuat orang tertawa mendengarnya. Hari itu, sehari menjelang ulang tahunku sahabat-sahabatku mengajakku hunting novel di sebuah toko buku diskon. Karena ayahku sibuk, jadilah aku menaiki sepeda ke rumah sahabatku itu, selain sehat juga hemat! Sebelumnya aku menitipkan motorku di pantai. Saat aku berbalik, setelah memarkirkan motorku. Aku melihat matanya membulat, kaget melihatku (atau terpesona?). aku bertanya-tanya, apa pakaianku salah? Terlalu mencolokkah warna kemejaku? Memang saat itu, aku mengenakan kemeja berwarna ungu dan jeans 7/8 berwarna biru. Tiba-tiba rokok yang ia pegang saat itu jatuh ke kainnya, saat itu ia memakai kain(pakaian ke pura). Aku hanya tersenyum geli melihatnya, ia pun masih terpaku melihatku. Hingga akhirnya…
“Andika,, kainmu terbakar…!!!” teriak salah seorang temannya, membuatnya segera sadar lalu mengibaskan rokok itu.
“Sialan…” gerutunya kecil.
Aku hanya tertawa kecil melihat kejadian itu, sambil berpikir… “sebegitu mempesonakah aku???”. Bolehkan aku Ge-er?? Batinku.
Sejak kejadian itu, hubungan kami semakin dekat. Hingga suatu saat,, dia menyanyikanku sebuah lagu Bali favoritnya, dan menjadi favoritku juga! Hingga membuat jantungku bekerja memompa 2 kali lipat, saking kuatnya berdebar. Lirik lagu yang sederhana, namun sangat mengena…
“…Demi Adi, Beli akan lakukan yang terbaik…
Demi Adi, I’ll do everything to make you happy…”
***
Dua minggu berlalu sejak ia menyanyikanku lagu itu, ia menghilang tanpa kabar sedikitpun. Aku sempat mencoba menghubungi ponselnya, namun ponselnya sudah ‘tak aktif lagi. Aku mendengar kabar bahwa pamannya meninggal dunia, karena itukah ia tak menghubungiku?? Entahlah, perlahan aku mulai merasa kehilangan dirinya.
Sore itu sepulang sekolah, aku tak pergi ke pantai untuk membantu bunda seperti biasanya. Karena aku tak mau berharap ia akan datang, aku lelah berharap padanya. Aku hanya menonton drama korea favoritku di rumah, tanpa memahami kisah dari drama korea itu, pikiranku hanya dipenuhi oleh Andika. Hingga aku tak menyadari sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Pada saat aku selesai mandi aku mengecek ponselku, ternyata ada sebuah pesan singkat dari nomer yang tidak dikenal.
Temui aku, di pantai hari ini. Jam 6 sore, oke?
_andika_
Aku tersentak kaget membaca pesan singkat itu, berulang kali aku yakinkan diriku bahwa pesan itu nyata, bukan sekedar khayalanku semata atau mimpi. Setelah aku yakin pesan itu nyata, aku segera melihat jam di tanganku. Jam 7!!! Aku terlambat satu jam!!! batinku, dengan segera aku berlari mengambil motorku dan melesat ke pantai. Semoga ia masih menungguku…
Sesampainya aku di pantai, aku tak menemukan siapapun. Tak ada siapapun disana, sepi, hening, yang begitu tentram. Apa ia telah pergi? Apa aku terlambat? Batinku. Dengan lunglai aku melangkahkan kakiku ke sebuah kursi panjang di bawah pohon camplung itu, terlihat sesosok pria sedang duduk disana. Aku tak mempercayai penglihatanku, benarkah itu Andika? Langkahku semakin perlahan, aku ragu untuk melanjutkan langkah kakiku lagi. Lalu pria itu berbalik, menyadari kedatanganku.
“Kenapa terlambat?” tanyanya.
“Ada apa kau memanggilku kemari?” tanyaku balik.
Hening sesaat.
“Hmm, aku hanya ingin mengucapkan…selamat tinggal..” ucapnya lalu merengkuh tubuhku dalam dekapannya.
Aku tersentak kaget, sesaat tubuhku membeku di pelukannya. Mencoba menahan air mataku agar ‘tak jatuh, aku tak ingin terlihat lemah di depannya. Menunggu lanjutan dari kalimatnya yang terpotong.
 “Tapi.. sebelumnya, aku ingin mengatakan…” ia diam sejenak mengatur tempo nafasnya. “Aku sangat menyanyangimu, Lita…” bisiknya lirih.
Waktu seolah tak berdetak, lidahku terasa kelu. Tak ada satupun kata terucap dari mulutku, aku merutuki diriku sendiri. Lama berpelukan, perlahan pelukannya melemah, ia melepaskan pelukannya dan pergi begitu saja. Meninggalkanku disini, sendiri. Dan sejak saat itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Ia benar-benar pergi, meninggalkanku disini sendiri bersama kenangan yang terukir abadi di hati. Tanpa sempat tanyakan aku, cintakah aku padanya…

0 komentar:

Posting Komentar

 

Bintang Jatuh. Design By: SkinCorner