Kamis, 11 Oktober 2012

Menatap Langit Senja..


M
ereka sangat menyukai Langit sore, perpaduan warna jingga yang menghiasi langit sore itu terlihat begitu indah. Akan tetapi, kini salah satu dari mereka takkan dapat memandangi Langit sore lagi. Tak ada lagi semburat warna yang menghiasi hidupnya. Tuhan telah merebut semburat warna-warna indah itu dari dirinya, dan hanya menyisakan satu warna untuknya, hitam…
***
Sore ini langit terlihat begitu murung, mentari pun bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam yang menggulung di langit. Perlahan gerimis pun mulai turun, membasahi alam ini. Seorang gadis memejamkan matanya merasakan betapa segarnya udara sore ini, “aah.. rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan udara sesegar ini..” bisik gadis itu pelan.
Kemudian ia meraba sekitar tempat tidur untuk mencari tongkat putihnya. Ketika tongkat itu telah berada di tangannya, ia pun segera melangkahkan kakinya menuju pantai. Tongkat putih ini adalah teman setianya selama setahun belakangan ini, tongkat yang selalu menemaninya setelah kecelakaan besar yang merenggut seluruh cahaya dihidupnya. Tuhan hanya menyisakan satu warna untuknya, hitam yang kelam.
Gadis itu melangkah dengan terseok-seok di pinggir pantai, tongkat putihnya menuntun gadis itu menuju sebuah Bale Bengong di sekitar pantai. Hari ini merupakan hari pertamanya kembali lagi menuju pesisir ini, tempat kelahirannya 17 tahun lalu. Tempat penuh kenangan akan canda dan tawanya yang kini lenyap. “Tak ada yang berubah, semua tetap sama.. hanya saja tak ada Ayah dan Bunda…” bisiknya pelan, lalu menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak mengingat hal menyakitkan itu lagi.
Hujan pun bertambah deras, awan hitam yang menggulung dari arah utara menambah kegelapan sore itu. Gadis itu tersadar setelah mendengar gemericik air hujan yang jatuh semakin deras dan suara petir yang menggelegar. Sebuah langkah kaki berlari mendekati tempatnya berteduh. “Langit..” gumam suara berat seseorang menyebutkan namanya, ia yakin itu adalah orang yang berlari tadi.
***
Senja sedang memandangi langit sore di pantai ini, hujan gerimis telah turun sedari tadi namun tak digubrisnya. Ia tetap memandangi perpaduan warna oranye dilangit itu, entah mengapa matanya ingin terus menatap langit. Ia memang menyukai langit sejak dahulu, namun baru kali ini ia begitu ingin melihat langit sore. Seolah ada sesuatu yang memanggilnya untuk memandang langit.
Tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan yang sangat deras seketika, suara guntur menggelegar membuyarkan lamunannya. Dengan cepat ia berlari mencari tempat berteduh, Bale Bengong di pantai terlihat begitu sepi hanya ada seorang wanita berkemeja putih dan celana jeans disana. Tanpa pikir panjang Senja berlari tempat itu, mulutnya ternganga begitu menyadari siapa gadis yang sedang duduk disana. “Langit..” gumam Senja, seketika itu pula gadis itu mendongak, tersentak.
“Si-siapa?” tanya gadis itu terbata-bata, “Siapa pria ini? Mengapa ia mengetahui namaku?” gumam bathinnya.
“Kau,, benar Langit?” tanyanya lagi, sambil meremas pundak gadis yang bernama Langit itu.
“Iya,,  maaf kamu siapa?” sahut gadis itu, namun ia tidak menatap bola mata Senja. Matanya tidak terfokus pada Senja.
“Apa kau tidak mengenaliku? Aku Senja..” katanya sambil menatap mata gadis itu, “Mengapa ia tidak menatapku? Tatapannya kosong..dan tongkat putih itu.. jangan-jangan dia–” kata bathinnya.
“Penglihatanku agak–..aku buta” sahut gadis itu seolah dapat mendengar kata hati Senja.
“Kau.. Langit…” gumam Senja lalu merengkuh gadis itu kedalam pelukannya, dan terisak pelan. “Maaf..” bisiknya pelan.
Pertemuan itu, merupakan pertemuan mereka untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berpisah. Dua orang sahabat yang terpisah sekian lama akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir, pertemuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
***
Hujan telah mereda, awan hitam yang menggulung di langit seolah lenyap digantikan oleh sinar rembulan. Detik demi detik pun berlalu, entah sudah berapa lama mereka terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. Deburan ombak terdengar memecah keheningan malam. Senja pun hanya diam menunggu gadis itu bicara, namun tak ada satu pun kata yang terucap darinya.
“Kamu,, apa kabar?” akhirnya sebuah kata terucap dari mulut Senja memecah keheningan.
“Ahh,, iya aku baik, kamu?” sahut gadis itu tergagap, tersentak dari lamunannya.
“Aku baik, kenapa kamu kembali kesini lagi?” tanya Senja kembali.
Tak ada jawaban yang terdengar dari Langit, ia hanya menghela nafas panjang. Ia takut lelaki itu akan menanyakan hal itu, hal yang benar-benar tak ingin ia bagi, pada siapa pun juga. Senja pun langsung menyesali pertanyaan yang ia lontarkan tadi, sungguh ia tak bermaksud memaksa gadis itu membicarakan hal itu. “Maaf,,” ujar Senja, yang hanya dijawab dengan senyuman samar oleh Langit.
“Sepertinya sudah malam, aku harus pulang” kata Langit di tengah keheningan.
“Ah–aku antar ya?” tanya Senja,
“Tidak usah, kamu pulang saja” sahut Langit.
“Tidak, aku akan mengantar kau hingga didepan rumah” ujar Senja tegas, dan gadis itu pun tidak menolaknya.
Mereka pun berjalan pulang berdua, tetap tanpa suara. Dulu mereka sangat akrab, amat sangat bahkan. Tapi kini rasa canggung menghantui mereka. Angin malam pun berhembus, tanpa sadar Langit menggigil. Senja melihat tingkah laku Langit, lalu bergegas membuka jaket hitam yang dikenakannya untuk Langit. Tubuh Langit tersentak saat merasakan jaket itu menyelimuti tubuhnya.
“Terima kasih, tapi sebaiknya untuk kamu aja” sahut Langit,
“Sudahlah, kau lebih memerlukannya. Oh ya, kau mengantarmu sampai sini saja ya? Kita sudah sampai di depan rumahmu. Bye” ujarnya lalu melangkah pergi.
***
Langit merebahkan tubuhnya pada ranjangnya, begitu ia sampai di kamarnya. Ia masih terbayang pertemuan tadi, ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu disini. Ia sangat senang dapat bertemu kembali dengan orang yang sangat dirindukannya itu, namun keadaannya kini sangat menyedihkan. Memori akan masa kecilnya kini kembali memenuhi kepalanya…
“Aduuh…”  pekik Langit kecil, ketika ia jatuh saat bermain ayunan di Taman Kanak-kanak. Lututnya berdarah, tapi ia tidak menangis hanya meringis sesekali.
“Ada apa?” tanya seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 6 tahun padanya.
“Jatuh,, dari ayunan” sahut Langit kecil pendek, tanpa memandangi anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu sibuk meraba kantongnya mencari sesuatu, dan wajahnya berubah ceriah ketika menemukan apa yang ia cari, “Pakai ini,” ujarnya sambil menyodorkan Langit kecil sebuah hansaplast bergambar bintang-bintang.
Langit kecil mendongak, lalu menerima hansaplast itu dari tangan anak laki-laki itu, “Terima Kasih” katanya pendek. Ia kebingungan akan memakai hansaplat itu untuk apa, ia tidak mengetahui cara memakainya.
“Sini, aku saja yang obati”  kata anak laki-laki itu, lalu menempelkan hansaplast untuk menutup lukanya.
“Terima Kasih” ujar Langit kecil sambil memamerkan deretan giginya yang ompong, anak laki-laki itu menjawabnya dengan senyuman, lalu berjalan menjauh. “Ah–iya tunggu, nama kamu siapa? Nama aku Langit” ucap Langit kecil sambil mengejar anak laki-laki itu.
“Namaku Senja..”
***
Sang Bola Api Raksasa mulai menampakkan dirinya malu-malu di langit bagian timur. Senja terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat, “Mungkin karena hujan-hujanan kemarin…” bathinnya. Kembali Senja teringat akan sahabatnya itu, Langit. Gadis yang dahulu sangat ceria kini berubah seratus delapan puluh derajat, ia menjadi gadis yang pemurung juga pendiam. “Aku harus mengembalikan keceriaannya lagi…”
Di kamarnya Langit terbangun dengan jaket hitam milik Senja masih melekat di tubuhnya, kepalanya sedikit pening akibat kemarin hujan-hujanan dan dimarahi Tantenya. Lalu ia meraba sekitar tempat tidurnya untuk mencari tongkatnya, tadi malam ia tertidur begitu saja, melupakan segalanya. Setelah tongkat itu berada di tangannya, ia segera melangkah menuju ruang tamu. Pagi ini suasana rumahnya sangat sepi, “Tante pergi kemana ya?” bathinnya.
Langit telah mencari Tantenya ke segala penjuru rumahnya, namun tak ditemukan juga. Akhirnya Langit memutuskan pergi ke warung untuk membeli wedang jahe untuk mengurangi pening di kepalanya. Perlahan Langit melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya ditemani oleh tongkat putih setianya. Tiba-tiba Langit merasa seseorang mengikuti langkahnya dari belakang, “Siapa orang yang mengikutiku dari belakang?” ungkap bathinnya.
 Langkah kaki itu semakin mendekati Langit, sontak membuatnya panik setengah mati. Banyak kemungkinan berseliweran di kepala Langit, “Jangan-jangan orang itu adalah perampok, pembunuh atau bahkan..pemerkosa–” ungkap bathinnya. Langit pun mencoba mempercepat langkah kakinya, tapi terlambat sebuah tangan telah menyentuh pundaknya.
“KYAAAAAAAAAAAA……” jeritnya tanpa sadar, lalu tongkatnya digunakan untuk memukuli orang itu.
“A..aduh–aduh.. hentikan. Ini aku,, Senja” pekik orang itu, seorang pria.
 “Ah–maafkan aku Senja..” ujarnya sambil membungkukkan badannya.
“Tidak usah dipikirkan, by the way kau ingin kemana pagi-pagi begini?” tanya Senja.
“Warung,, beli wedang jahe” sahutnya singkat.
“Bagaimana kalau aku traktir kamu? Sebagai permintaan maafku” kata Senja.
“Hey, kau mengejekku ya? Kan aku yang salah, baiklah aku yang akan mentraktirmu wedang jahe” ujar Langit, tanpa sadar sudut bibirnya sedikit terangkat. Senja pun tanpa terasa ikut tersenyum melihat senyum gadis itu kembali.
***
Sejak saat itu, mereka kembali menjadi akrab. Kemana pun selalu bersama, seolah - olah takkan terpisahkan. Bahkan mungkin telah tumbuh sesuatu di dalam hati mereka yang tidak disadari. Sebuah perasaan ingin memiliki, dan ingin selalu bersama.
“POS!!!!!! Surat datang!!!!!” teriak tukang pos dari luar pagar, mengagetkan Langit dan Senja yang sedang bersantai di halaman belakang. Dengan terpaksa Senja bangun dan menghampiri Tukang Pos itu, meninggalkan Langit sendirian di halaman belakang rumahnya.
“Surat apaan nih?” gumamnya sendirian. Dengan penasaran Senja segera membuka surat beramplop coklat itu, dan sungguh isi dari surat itu membuatnya sangat kaget. “Mengapa harus disaat seperti ini??” bisik bathinnya, segera saja ia menyembunyikan surat itu, lalu kembali menemui Langit dengan wajah murung. Isi surat itu benar-benar membuatnya bingung, hingga sering kali ia menghela nafas.
“Kamu kenapa sih Senja?” tanya Langit menyadari keanehan sikap sahabatnya.
“Hmm, nothing…” sahut Senja singkat.
“Jujur saja, ada masalah apa Senja? Dan surat tadi itu surat apa?” tanyanya kembali.
“Tidak…” sahut Senja tak bersemangat.
“Sudahlah, kau tak perlu berpura-pura padaku. Aku dapat– ” belum Langit menyelesaikan kalimatnya, kalimatnya telah dipotong oleh Senja.
“Kamu dapat apa? Kau dapat melihatnya? Apa kau lupa, kau tidak dapat melihat Langit!” kata Senja sedikit kasar.
Langit terkesiap mendengar perkataan Senja, tanpa disadari air mata Langit menetes perlahan, membasahi kelopak matanya. Melihat air mata Langit mengalir di pipinya, detik itupun juga Senja langsung menyesali kata-kata yang terucap dari mulutnya sendiri.
“Langit,, maafkan aku.. aku tidak bermaksud seperti itu” kata Senja memohon maaf pada Langit.
“Maaf, aku harus pulang” kata Langit, lalu berjalan pulang ditemani tongkat putihnya.
***
Di dalam kamarnya, Senja membaca sekali lagi surat itu. Surat pemberitahuan bahwa ia diterima di sekolah kedokteran di Perth, Australia Barat sekolah yang diimpikannya sejak dulu. Namun kini ia merasa itu tidak berarti lagi, apabila ia harus meninggalkan sahabatnya–Langit– sendirian disini. Di tambah lagi sekarang gadis itu marah padanya, gara-gara perkataannya tadi.
“AARRGGHHH” teriak Senja.
“Kamu kenapa sih?” tanya Sophie, kakak Senja dari balik pintu dengan alis berkerut. Senja pun menceritakan semua masalahnya pada Sophie, karena menurutnya tidak akan ada gunanya berbohong pada kakaknya yang tahu segalanya ini. Sophie adalah kakak Senja, calon Psikolog yang sedang mengerjakan skripsinya. Sophie hanya manggut-manggut mendengarkan cerita Senja.
“Trus? Sekarang kamu pengennya gimana? Kalau kakak jadi kamu, pasti kakak bakal pilih sekolah di Perth” tuturnya setelah mendengarkan cerita Senja dengan seksama.
“Entahlah kak..” sahut Senja seadanya, ia belum bisa memutuskannya saat  ini.
“Ya sudah, pikirin dulu baik-baik. Jangan sampai menyesal nanti” ujar Sophie sebelum meninggalkan Senja di kamarnya.
***
Langit menutup ponselnya, beberapa saat yang lalu ia mendapatkan telepon dari Kak Sophie, kakak Senja. Kak Sophie menceritakan segala yang dirisaukan oleh Senja pada Langit, mengenai sekolah kedokteran di Perth dan dirinya. Langit mendengarkan dengan mulut ternganga sempurna, “Jadi karena itu Senja kemarin sangat risau..”. Lalu dengan segera Langit menghubungi Senja, agar menemuinya di pantai saat ini.
Senja bergegas ke pantai begitu mendapatkan telepon dari Langit, Langit mengatakan bahwa ia menunggu Senja di pantai hari ini. Dengan setengah berlari Senja menuju pantai, mencari Langit. Dilihatnya Langit sedang duduk di Bale Bengong sekitar pantai. Langit yang sudah merasakan kehadiran Senja, langsung menyuruh Senja duduk disampingnya.
“Senja, aku punya sebuah kisah mengenai persahabatan seorang gadis dan sahabatnya. Mereka bersahabat sejak kecil, namun mereka sempat berpisah selama beberapa tahun. Akan tetapi takdir kembali mempersatukan mereka..” cerita Langit, Senja menahan nafas mendengarnya. Langit pun kembali melanjutkan ceritanya “Tapi, tahukah kau? Gadis itu kembali dengan mata yang buta, ia tak dapat melihat. Awalnya gadis itu menjauhi sahabatnya itu, ia malu karena dirinya buta. Tetapi sahabatnya terus mendekatinya, akhirnya mereka bersahabat kembali..”
“Itu kan…” gumam Senja, “Ssst, biarkan aku melanjutkan ceritaku” sahut Langit.
“Dan, suatu hari sahabat dari gadis itu mendapatkan surat dari sekolah kedokteran di Perth untuk bersekolah disana namun ia tak ingin meninggalkan sahabatnya disini. Jika kau jadi sahabat gadis itu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Langit, akan tetapi tak ada jawaban yang terdengar. “Jika aku jadi sahabat gadis itu, aku pasti akan pergi dan bersekolah di Perth” sambung Langit dengan suara bergetar.
“Tapi, bagaimana dengan gadis itu?” tanya Senja dengan suara bergetar hebat.
“Jika aku menjadi gadis itu, pasti aku akan membiarkannya pergi untuk meraih mimpinya. Dan aku pasti akan sangat sedih jika sahabatku meninggalkan kesempatan emas itu hanya demi diriku. Karena kata Almarhumah Bundaku dulu ‘Jika ada seseorang mengetuk pintu, cepatlah buka pintunya karena belum tentu pintu akan diketuk untuk kedua kalinya’. Aku sangat berharap sahabatku meraih mimpinya, dan kembali kesini menjadi dokter yang hebat. Agar tak seperti aku yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang aku inginkan” sahut Langit dengan air mata yang mengalir di pipinya, Senja segera merengkuh gadis itu kedalam pelukannya.
***
Empat tahun kemudian…
“….begitulah cerita si Kancil yang nakal akhirnya mendapat ganjarannya. Sekian untuk hari ini anak-anak, besok lagi ya” ujar Langit mengakhiri dongengannya untuk anak-anak didiknya.
“PROK,PROK,PROK” tepuk tangan yang sangat keras menutup ceritanya kali ini, “Siapa yang bertepuk tangan?” ujarnya membathin.
“Cerita yang bagus..” ujar suara berat menjawab pertanyaannya.
“Kau?? Senja?” pekiknya riang tanpa sadar.
“Kau ingat kisah seorang gadis dengan sahabatnya itu? Aku ingin melanjutkan kisah yang terpotong itu. Kini sahabat gadis itu sudah berhasil menjadi dokter yang hebat dan ia ingin melamar gadis itu. Jika kau menjadi gadis itu? Maukah kau menikah dengan sahabatmu itu?” tanya Senja. “Hmm,, tentu saja gadis itu akan menerimanya!!!” sahut Langit sambil tersenyum. Senja pun merengkuh gadis itu kedalam pelukannya…
 

Bintang Jatuh. Design By: SkinCorner