M
|
ereka sangat menyukai Langit sore, perpaduan warna
jingga yang menghiasi langit sore itu terlihat begitu indah. Akan tetapi, kini salah
satu dari mereka takkan dapat memandangi Langit sore lagi. Tak ada lagi
semburat warna yang menghiasi hidupnya. Tuhan telah merebut semburat
warna-warna indah itu dari dirinya, dan hanya menyisakan satu warna untuknya,
hitam…
***
Sore ini langit terlihat begitu
murung, mentari pun bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam yang menggulung di
langit. Perlahan gerimis pun mulai turun, membasahi alam ini. Seorang gadis
memejamkan matanya merasakan betapa segarnya udara sore ini, “aah.. rasanya sudah lama sekali aku tidak
merasakan udara sesegar ini..” bisik gadis itu pelan.
Kemudian ia meraba sekitar tempat
tidur untuk mencari tongkat putihnya. Ketika tongkat itu telah berada di
tangannya, ia pun segera melangkahkan kakinya menuju pantai. Tongkat putih ini
adalah teman setianya selama setahun belakangan ini, tongkat yang selalu
menemaninya setelah kecelakaan besar yang merenggut seluruh cahaya dihidupnya.
Tuhan hanya menyisakan satu warna untuknya, hitam yang kelam.
Gadis itu melangkah dengan
terseok-seok di pinggir pantai, tongkat putihnya menuntun gadis itu menuju
sebuah Bale Bengong di sekitar pantai. Hari ini merupakan hari pertamanya
kembali lagi menuju pesisir ini, tempat kelahirannya 17 tahun lalu. Tempat
penuh kenangan akan canda dan tawanya yang kini lenyap. “Tak ada yang berubah, semua tetap sama.. hanya saja tak ada Ayah dan
Bunda…” bisiknya pelan, lalu menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak
mengingat hal menyakitkan itu lagi.
Hujan pun bertambah deras, awan
hitam yang menggulung dari arah utara menambah kegelapan sore itu. Gadis itu
tersadar setelah mendengar gemericik air hujan yang jatuh semakin deras dan suara
petir yang menggelegar. Sebuah langkah kaki berlari mendekati tempatnya
berteduh. “Langit..” gumam suara berat seseorang menyebutkan namanya, ia yakin
itu adalah orang yang berlari tadi.
***
Senja sedang memandangi langit sore
di pantai ini, hujan gerimis telah turun sedari tadi namun tak digubrisnya. Ia
tetap memandangi perpaduan warna oranye dilangit itu, entah mengapa matanya
ingin terus menatap langit. Ia memang menyukai langit sejak dahulu, namun baru
kali ini ia begitu ingin melihat langit sore. Seolah ada sesuatu yang
memanggilnya untuk memandang langit.
Tiba-tiba gerimis berubah menjadi
hujan yang sangat deras seketika, suara guntur menggelegar membuyarkan
lamunannya. Dengan cepat ia berlari mencari tempat berteduh, Bale Bengong di
pantai terlihat begitu sepi hanya ada seorang wanita berkemeja putih dan celana
jeans disana. Tanpa pikir panjang Senja berlari tempat itu, mulutnya ternganga
begitu menyadari siapa gadis yang sedang duduk disana. “Langit..” gumam Senja,
seketika itu pula gadis itu mendongak, tersentak.
“Si-siapa?” tanya gadis itu
terbata-bata, “Siapa pria ini? Mengapa ia
mengetahui namaku?” gumam bathinnya.
“Kau,, benar Langit?” tanyanya
lagi, sambil meremas pundak gadis yang bernama Langit itu.
“Iya,, maaf kamu siapa?” sahut gadis itu, namun ia
tidak menatap bola mata Senja. Matanya tidak terfokus pada Senja.
“Apa kau tidak mengenaliku? Aku
Senja..” katanya sambil menatap mata gadis itu, “Mengapa ia tidak menatapku? Tatapannya kosong..dan tongkat putih itu..
jangan-jangan dia–” kata bathinnya.
“Penglihatanku agak–..aku buta”
sahut gadis itu seolah dapat mendengar kata hati Senja.
“Kau.. Langit…” gumam Senja lalu
merengkuh gadis itu kedalam pelukannya, dan terisak pelan. “Maaf..” bisiknya
pelan.
Pertemuan itu, merupakan pertemuan
mereka untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berpisah. Dua orang sahabat
yang terpisah sekian lama akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir, pertemuan
yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
***
Hujan telah mereda, awan hitam yang
menggulung di langit seolah lenyap digantikan oleh sinar rembulan. Detik demi
detik pun berlalu, entah sudah berapa lama mereka terlarut dalam pikiran mereka
masing-masing. Deburan ombak terdengar memecah keheningan malam. Senja pun
hanya diam menunggu gadis itu bicara, namun tak ada satu pun kata yang terucap
darinya.
“Kamu,, apa kabar?” akhirnya sebuah
kata terucap dari mulut Senja memecah keheningan.
“Ahh,, iya aku baik, kamu?” sahut
gadis itu tergagap, tersentak dari lamunannya.
“Aku baik, kenapa kamu kembali
kesini lagi?” tanya Senja kembali.
Tak ada jawaban yang terdengar dari
Langit, ia hanya menghela nafas panjang. Ia takut lelaki itu akan menanyakan
hal itu, hal yang benar-benar tak ingin ia bagi, pada siapa pun juga. Senja pun
langsung menyesali pertanyaan yang ia lontarkan tadi, sungguh ia tak bermaksud
memaksa gadis itu membicarakan hal itu. “Maaf,,” ujar Senja, yang hanya dijawab
dengan senyuman samar oleh Langit.
“Sepertinya sudah malam, aku harus
pulang” kata Langit di tengah keheningan.
“Ah–aku antar ya?” tanya Senja,
“Tidak usah, kamu pulang saja”
sahut Langit.
“Tidak, aku akan mengantar kau
hingga didepan rumah” ujar Senja tegas, dan gadis itu pun tidak menolaknya.
Mereka pun berjalan pulang berdua,
tetap tanpa suara. Dulu mereka sangat akrab, amat sangat bahkan. Tapi kini rasa
canggung menghantui mereka. Angin malam pun berhembus, tanpa sadar Langit
menggigil. Senja melihat tingkah laku Langit, lalu bergegas membuka jaket hitam
yang dikenakannya untuk Langit. Tubuh Langit tersentak saat merasakan jaket itu
menyelimuti tubuhnya.
“Terima kasih, tapi sebaiknya untuk
kamu aja” sahut Langit,
“Sudahlah, kau lebih memerlukannya.
Oh ya, kau mengantarmu sampai sini saja ya? Kita sudah sampai di depan rumahmu.
Bye” ujarnya lalu melangkah pergi.
***
Langit merebahkan tubuhnya pada
ranjangnya, begitu ia sampai di kamarnya. Ia masih terbayang pertemuan tadi, ia
sama sekali tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu disini. Ia sangat
senang dapat bertemu kembali dengan orang yang sangat dirindukannya itu, namun
keadaannya kini sangat menyedihkan. Memori akan masa kecilnya kini kembali
memenuhi kepalanya…
“Aduuh…” pekik Langit kecil, ketika ia jatuh saat
bermain ayunan di Taman Kanak-kanak. Lututnya berdarah, tapi ia tidak menangis
hanya meringis sesekali.
“Ada apa?” tanya seorang anak
laki-laki yang berumur sekitar 6 tahun padanya.
“Jatuh,, dari ayunan” sahut Langit
kecil pendek, tanpa memandangi anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu sibuk meraba
kantongnya mencari sesuatu, dan wajahnya berubah ceriah ketika menemukan apa
yang ia cari, “Pakai ini,” ujarnya sambil menyodorkan Langit kecil sebuah
hansaplast bergambar bintang-bintang.
Langit kecil mendongak, lalu
menerima hansaplast itu dari tangan anak laki-laki itu, “Terima Kasih” katanya
pendek. Ia kebingungan akan memakai hansaplat itu untuk apa, ia tidak
mengetahui cara memakainya.
“Sini, aku saja yang obati” kata anak laki-laki itu, lalu menempelkan
hansaplast untuk menutup lukanya.
“Terima Kasih” ujar Langit kecil
sambil memamerkan deretan giginya yang ompong, anak laki-laki itu menjawabnya
dengan senyuman, lalu berjalan menjauh. “Ah–iya tunggu, nama kamu siapa? Nama
aku Langit” ucap Langit kecil sambil mengejar anak laki-laki itu.
“Namaku Senja..”
***
Sang Bola Api Raksasa mulai
menampakkan dirinya malu-malu di langit bagian timur. Senja terbangun dengan
kepala yang terasa sangat berat, “Mungkin
karena hujan-hujanan kemarin…” bathinnya. Kembali Senja teringat akan
sahabatnya itu, Langit. Gadis yang dahulu sangat ceria kini berubah seratus
delapan puluh derajat, ia menjadi gadis yang pemurung juga pendiam. “Aku harus mengembalikan keceriaannya lagi…”
Di kamarnya Langit terbangun dengan
jaket hitam milik Senja masih melekat di tubuhnya, kepalanya sedikit pening
akibat kemarin hujan-hujanan dan dimarahi Tantenya. Lalu ia meraba sekitar
tempat tidurnya untuk mencari tongkatnya, tadi malam ia tertidur begitu saja,
melupakan segalanya. Setelah tongkat itu berada di tangannya, ia segera
melangkah menuju ruang tamu. Pagi ini suasana rumahnya sangat sepi, “Tante pergi kemana ya?” bathinnya.
Langit telah mencari Tantenya ke
segala penjuru rumahnya, namun tak ditemukan juga. Akhirnya Langit memutuskan
pergi ke warung untuk membeli wedang jahe untuk mengurangi pening di kepalanya.
Perlahan Langit melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya ditemani oleh tongkat
putih setianya. Tiba-tiba Langit merasa seseorang mengikuti langkahnya dari
belakang, “Siapa orang yang mengikutiku
dari belakang?” ungkap bathinnya.
Langkah kaki itu semakin mendekati Langit,
sontak membuatnya panik setengah mati. Banyak kemungkinan berseliweran di
kepala Langit, “Jangan-jangan orang itu
adalah perampok, pembunuh atau bahkan..pemerkosa–” ungkap bathinnya. Langit
pun mencoba mempercepat langkah kakinya, tapi terlambat sebuah tangan telah
menyentuh pundaknya.
“KYAAAAAAAAAAAA……” jeritnya tanpa
sadar, lalu tongkatnya digunakan untuk memukuli orang itu.
“A..aduh–aduh.. hentikan. Ini aku,,
Senja” pekik orang itu, seorang pria.
“Ah–maafkan aku Senja..” ujarnya sambil
membungkukkan badannya.
“Tidak usah dipikirkan, by the way kau ingin kemana pagi-pagi
begini?” tanya Senja.
“Warung,, beli wedang jahe”
sahutnya singkat.
“Bagaimana kalau aku traktir kamu?
Sebagai permintaan maafku” kata Senja.
“Hey, kau mengejekku ya? Kan aku
yang salah, baiklah aku yang akan mentraktirmu wedang jahe” ujar Langit, tanpa
sadar sudut bibirnya sedikit terangkat. Senja pun tanpa terasa ikut tersenyum
melihat senyum gadis itu kembali.
***
Sejak saat itu, mereka kembali
menjadi akrab. Kemana pun selalu bersama, seolah - olah takkan terpisahkan.
Bahkan mungkin telah tumbuh sesuatu di dalam hati mereka yang tidak disadari.
Sebuah perasaan ingin memiliki, dan ingin selalu bersama.
“POS!!!!!! Surat datang!!!!!”
teriak tukang pos dari luar pagar, mengagetkan Langit dan Senja yang sedang
bersantai di halaman belakang. Dengan terpaksa Senja bangun dan menghampiri
Tukang Pos itu, meninggalkan Langit sendirian di halaman belakang rumahnya.
“Surat apaan nih?” gumamnya
sendirian. Dengan penasaran Senja segera membuka surat beramplop coklat itu,
dan sungguh isi dari surat itu membuatnya sangat kaget. “Mengapa harus disaat seperti ini??” bisik bathinnya, segera saja
ia menyembunyikan surat itu, lalu kembali menemui Langit dengan wajah murung.
Isi surat itu benar-benar membuatnya bingung, hingga sering kali ia menghela nafas.
“Kamu kenapa sih Senja?” tanya
Langit menyadari keanehan sikap sahabatnya.
“Hmm, nothing…” sahut Senja singkat.
“Jujur saja, ada masalah apa Senja?
Dan surat tadi itu surat apa?” tanyanya kembali.
“Tidak…” sahut Senja tak
bersemangat.
“Sudahlah, kau tak perlu
berpura-pura padaku. Aku dapat– ” belum Langit menyelesaikan kalimatnya,
kalimatnya telah dipotong oleh Senja.
“Kamu dapat apa? Kau dapat
melihatnya? Apa kau lupa, kau tidak dapat melihat Langit!” kata Senja sedikit
kasar.
Langit terkesiap mendengar
perkataan Senja, tanpa disadari air mata Langit menetes perlahan, membasahi
kelopak matanya. Melihat air mata Langit mengalir di pipinya, detik itupun juga
Senja langsung menyesali kata-kata yang terucap dari mulutnya sendiri.
“Langit,, maafkan aku.. aku tidak
bermaksud seperti itu” kata Senja memohon maaf pada Langit.
“Maaf, aku harus pulang” kata
Langit, lalu berjalan pulang ditemani tongkat putihnya.
***
Di dalam kamarnya, Senja membaca
sekali lagi surat itu. Surat pemberitahuan bahwa ia diterima di sekolah
kedokteran di Perth, Australia Barat sekolah yang diimpikannya sejak dulu.
Namun kini ia merasa itu tidak berarti lagi, apabila ia harus meninggalkan
sahabatnya–Langit– sendirian disini. Di tambah lagi sekarang gadis itu marah
padanya, gara-gara perkataannya tadi.
“AARRGGHHH” teriak Senja.
“Kamu kenapa sih?” tanya Sophie,
kakak Senja dari balik pintu dengan alis berkerut. Senja pun menceritakan semua
masalahnya pada Sophie, karena menurutnya tidak akan ada gunanya berbohong pada
kakaknya yang tahu segalanya ini. Sophie adalah kakak Senja, calon Psikolog
yang sedang mengerjakan skripsinya. Sophie hanya manggut-manggut mendengarkan
cerita Senja.
“Trus? Sekarang kamu pengennya
gimana? Kalau kakak jadi kamu, pasti kakak bakal pilih sekolah di Perth” tuturnya
setelah mendengarkan cerita Senja dengan seksama.
“Entahlah kak..” sahut Senja
seadanya, ia belum bisa memutuskannya saat
ini.
“Ya sudah, pikirin dulu baik-baik.
Jangan sampai menyesal nanti” ujar Sophie sebelum meninggalkan Senja di
kamarnya.
***
Langit menutup ponselnya, beberapa
saat yang lalu ia mendapatkan telepon dari Kak Sophie, kakak Senja. Kak Sophie
menceritakan segala yang dirisaukan oleh Senja pada Langit, mengenai sekolah
kedokteran di Perth dan dirinya. Langit mendengarkan dengan mulut ternganga
sempurna, “Jadi karena itu Senja kemarin
sangat risau..”. Lalu dengan segera Langit menghubungi Senja, agar
menemuinya di pantai saat ini.
Senja bergegas ke pantai begitu
mendapatkan telepon dari Langit, Langit mengatakan bahwa ia menunggu Senja di
pantai hari ini. Dengan setengah berlari Senja menuju pantai, mencari Langit.
Dilihatnya Langit sedang duduk di Bale Bengong sekitar pantai. Langit yang
sudah merasakan kehadiran Senja, langsung menyuruh Senja duduk disampingnya.
“Senja, aku punya sebuah kisah
mengenai persahabatan seorang gadis dan sahabatnya. Mereka bersahabat sejak
kecil, namun mereka sempat berpisah selama beberapa tahun. Akan tetapi takdir
kembali mempersatukan mereka..” cerita Langit, Senja menahan nafas
mendengarnya. Langit pun kembali melanjutkan ceritanya “Tapi, tahukah kau?
Gadis itu kembali dengan mata yang buta, ia tak dapat melihat. Awalnya gadis
itu menjauhi sahabatnya itu, ia malu karena dirinya buta. Tetapi sahabatnya
terus mendekatinya, akhirnya mereka bersahabat kembali..”
“Itu kan…” gumam Senja, “Ssst,
biarkan aku melanjutkan ceritaku” sahut Langit.
“Dan, suatu hari sahabat dari gadis
itu mendapatkan surat dari sekolah kedokteran di Perth untuk bersekolah disana
namun ia tak ingin meninggalkan sahabatnya disini. Jika kau jadi sahabat gadis
itu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Langit, akan tetapi tak ada jawaban yang
terdengar. “Jika aku jadi sahabat gadis itu, aku pasti akan pergi dan
bersekolah di Perth” sambung Langit dengan suara bergetar.
“Tapi, bagaimana dengan gadis itu?”
tanya Senja dengan suara bergetar hebat.
“Jika aku menjadi gadis itu, pasti
aku akan membiarkannya pergi untuk meraih mimpinya. Dan aku pasti akan sangat
sedih jika sahabatku meninggalkan kesempatan emas itu hanya demi diriku. Karena
kata Almarhumah Bundaku dulu ‘Jika ada seseorang mengetuk pintu, cepatlah buka
pintunya karena belum tentu pintu akan diketuk untuk kedua kalinya’. Aku sangat
berharap sahabatku meraih mimpinya, dan kembali kesini menjadi dokter yang
hebat. Agar tak seperti aku yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan hal yang aku inginkan” sahut Langit dengan air mata yang mengalir di
pipinya, Senja segera merengkuh gadis itu kedalam pelukannya.
***
Empat tahun kemudian…
“….begitulah cerita si Kancil yang
nakal akhirnya mendapat ganjarannya. Sekian untuk hari ini anak-anak, besok
lagi ya” ujar Langit mengakhiri dongengannya untuk anak-anak didiknya.
“PROK,PROK,PROK” tepuk tangan yang
sangat keras menutup ceritanya kali ini, “Siapa yang bertepuk tangan?” ujarnya
membathin.
“Cerita yang bagus..” ujar suara
berat menjawab pertanyaannya.
“Kau?? Senja?” pekiknya riang tanpa
sadar.
“Kau ingat kisah seorang gadis
dengan sahabatnya itu? Aku ingin melanjutkan kisah yang terpotong itu. Kini
sahabat gadis itu sudah berhasil menjadi dokter yang hebat dan ia ingin melamar
gadis itu. Jika kau menjadi gadis itu? Maukah kau menikah dengan sahabatmu itu?”
tanya Senja. “Hmm,, tentu saja gadis itu akan menerimanya!!!” sahut Langit
sambil tersenyum. Senja pun merengkuh gadis itu kedalam pelukannya…