Jumat, 30 November 2012

Kimia - Essay Bab 1

essay Bab. 1
Uji Kompetensi 1. (halaman 10)




Uji Kompetensi 2 (halaman20)


Ulangan Harian 1 (halaman 24)





Senin, 05 November 2012

Jejak-Jejak Kerinduan


Jejak-Jejak Kerinduan
(Ayulita Andayani)

Malam yang begitu dingin,
Begitu menusuk hingga ke tulang.
Keresahan terus menyapa dari dasar jiwa.
Mengingatkan jiwa ini,
Akan seseorang itu.
Seseorang yang menemani hari-hariku
Membuat hariku menjadi lebih berwarna
Menghapuskan tangisanku.
Tak kusangka hadirmu
Mampu membuka pintu hati ini.
Diam-diam,
Sebuah rasa mulai tumbuh didada ini
Mungkin aku tlah tertawan cinta

Besakih


BESAKIH…
Pernahkah saat kau bersama seseorang kau merasa seolah-olah kau menemukan seseorang yang sangat tepat. Seperti kepingan puzzle yang bertemu pasangannya, dan terdengar bunyi ‘Klik’ saat menyatu? Seperti itulah rasanya. Namun angin meniupnya, dan kepingan itu terbawa oleh angin…
***
Detik demi detik terasa berjalan sangat lambat, entah sudah berapa kali aku menguap diam-diam sepanjang pelajaran berlangsung. Sedangkan teman sebangkuku, Liz tak pernah berhenti berbicara. Sepanjang pelajaran ia selalu berbicara, beberapa kali ia mencoba mengajakku berbicara namun responku hanya tersenyum.
Mataku sudah hampir terpejam seandainya saja Liz tidak berteriak sekencang itu, disusul oleh teriakan teman-teman lainnya. Kontan mataku terbelalak, “Lho? Ada apa ini?” pikirku.
“Liz? Kamu ngapain?” bisikku.
“Nik, kita bakal Tirta Yatra ke pura Besakih!!” sahutnya dengan wajah cerah sempurna.
“Terus?” tanyaku blo’on.
“Ini pertama kalinya aku bakal kesana Nik, aku belum pernah kesana tahu” sahutnya masih bersemangat.
“Dan semoga kita satu bus dengannya” lanjutnya, sebelum aku sempat membuka mulutku untuk bertanya bell pelajaran berakhir berdering.
***
“Nik, kawitanmu apa?” tanya Liz saat kami sedang mengantri di kantin, “Nanti kita ke kawitan bareng yuk waktu di Besakih?” lanjutnya,bahkan aku belum sempat menjawab pertanyaan pertamanya.
Tiba-tiba, “Eh, Wis kawitanmu apa? Kawitanku Pasek Gelgel lho” tanya Liz pada seseorang, kepalaku sontak menoleh kebelakang.
“Kawitanku Bendesa Mas, kayak Manik” jawabnya singkat. “Nanti kita berangkat bareng yah, Nik” lanjutnya sambil tersenyum, lalu berlalu.
Aku hanya dapat ternganga menatap punggungnya, hingga Liz menyadarkanku.
“Kok dia bisa tahu kawitanmu Nik?” tanya Liz dengan nada heran, dan aku hanya mengangkat bahuku. Itu yang sedang aku pikirkan…
***
“Duh Nik, kamu itu beruntung banget!! Bisa bareng sama Wisnu ke Besakihnya. Huh, seandainya boleh ditukar, aku mau deh jadi kamu Nik” gerutu Liz ketika tiba di kelas. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Ohya, kok dia bisa tahu kawitanmu sih Nik?” tanya Liz tiba-tiba. “Apa jangan-jangan..” lanjutnya menggantung.
“Jangan-jangan apa? Mungkin saja dia tanya Setya,Setya kan kenal kita” sahutku ringan.
“Mungkin…” gumam Liz, terdengar curiga.
***
Aku melangkah dengan lesu memasuki ruang kelasku, beberapa temanku menyapa dan kubalas dengan senyum seadanya.
“Manik!!!” teriak sebuah suara memanggil namaku, suara melengking yang aku sangat kenal. Liz.
“Ada apa Liz?”
“Kamu tahu nggak kita bakal satu bus sama anak kelas sebelah! Dan itu artinya kita bakal satu bus sama Wisnu!!” jeritnya histeris.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya, dasar Liz. Liz memang gadis yang cantik, sangat cantik. Dia tinggi dengan rambut pendek sebahu, bentuk wajah oval dan kulit putih. Berbeda denganku, aku bisa dikategorikan gadis yang tinggi walaupun tak setinggi Liz, wajahku bulat dengan mata bulat, rambut panjang sepinggang dan kulit coklat seperti gadis bali pada umumnya.
***
“Pagi Nik, lagi nyari tempat duduk? Disebelahku ada yang kosong.” tanya sebuah suara ketika aku sedang mencari tempat duduk dalam bus. Suara lembut yang pernah ku dengar. Ketika kutolehkan kepalaku, ternyata Wisnu!
“Ah? Iya, aku mau duduk dibelakang aja Wis” sahutku lalu beranjak mencari tempat duduk yang lain, namun tangan itu menarikku dan aku terduduk tepat disebelahnya.
“Nah, udah dapet tempat duduk kan? Biar nanti aku nggak susah nyari kamu” katanya.
Dan aku hanya bisa tersenyum. Salah tingkah!
Beberapa kali dia memancing obrolan, namun aku hanya menjawab singkat. Sungguh, selain aku memang malas berbicara, aku juga sangat salting! Tiba-tiba…
“Manik? Kok kamu duduk disini?” tanya Liz terkejut melihatku duduk dekat dengan Wisnu.
“Ah, itu tadi..” jawabku bingung.
“Tadi aku yang minta dia duduk disini Liz, biar bisa ke kawitan bareng” sahut Wisnu menolongku sambil memamerkan deretan giginya.
“Ohh.. gitu” sahut Liz singkat, ada yang aneh dalam nada suaranya.
“Ohya, Liz.. aku boleh tukaran tempat duduk nggak? Aku biasanya mual kalo duduk dibelakang” lanjutnya, spontan aku mengangguk.
Saat aku sudah bertukar tempat duduk dengan Liz, ponselku bergetar. Ada sebuah pesan.
Liz : Thanks ya Nik ;)
***
Alunan lagu Dear God mengalun lembut di earphone ku, membuat mataku memberat dan hampir tertidur. Saat mataku hampir terpejam, bus tidak-tiba berhenti mendadak dan mati. Ada apa ini tuhan?
Supir bus dan beberapa siswa laki-laki dari kelasku keluar untuk memeriksa keadaan, ternyata ban bus kempes dan mesin mati. Sungguh aku sangat ketakutan.
“Anak-anak, nanti kalian berjalan menuju bus yang ada didepan. Kita berpencar ke bus yang lainnya” perintah pak Dewa saat itu. Kami pun berhamburan keluar dan berlari menuju bus didepan kami.
Aku mencoba berlari sekencang-kencangnya, namun aku sangat lelah ditambah lagi cuaca sedang hujan. dan akhirnya aku tubuhku meluruh perlahan. Namun sebelum tubuhku benar-benar jatuh seseorang telah menahan tubuhku. Wisnu!
“Kamu nggak kenapa-kenapa kan Nik? Masih bisa jalan?” tanya nya. Aku hanya terdiam, antara kaget bercampur malu.
Akhirnya ia berjongkok didepanku, dan menyuruh ku naik kepunggungnya.
“Ayolah naik! Lebih cepat lebih baik, atau aku tinggal?” tanya Wisnu, akhirnya aku menurut dan ia menggendongku sampai di bus. Didalam bus Wisnu selalu berada disebelahku, melindungiku dari beberapa tangan-tangan jahil siswa-siswa di bus tersebut. Bahkan ada beberapa siswa menggodaku, dan mengumpat kami. Karena hanya ada kami yang tersesat dalam bus itu.
Ada debar aneh yang kurasakan saat tangan itu mengenggam tanganku. Ketika kuperhatikan wajahnya memang cukup tampan, rahangnya tegas, dan satu hal yang membuatku terpana padanya adalah tatapan matanya yang tajam ditambah kacamata minusnya yang setia bertengger di wajahnya.
***
Kami berdua bergegas turun dari bus itu sesampainya di Besakih. Dan selama itu ia selalu menggenggam tanganku, sangat erat.
Akhirnya kami bertemu dengan beberapa teman kami, termasuk Liz. Yang langsung memelukku, dan bertanya sangat banyak. Dan tak ada satupun yang dapat aku jawab. Wisnu lah yang menjawab semua pertanyaan itu, sambil tangannya masih bertaut dengan tanganku. Aku merasakan tatapan yang berbeda di mata Liz.
Setelah beberapa lama kami mengobrol kami kemudian berpisah dengan Liz dan melanjutkan perjalanan menuju kawitan masing-masing.
“Nik, kamu tahu dimana letak kawitannya?” tanya Wisnu padaku, aku hanya menggeleng pelan.
“Aku kira kamu tahu Wis” jawabku sambil nyengir.
“Hadeh, aku juga nggak tahu Nik. Makanya aku ngajak kamu” jawabnya sambil mengacak rambutku.
Dan akhirnya setelah beberapa lama kami berkeliling dan bertanya sana-sini, kami menemukan kawitan kami dan bersembahyang disana. Dan kami hanya menahan tawa ketika menyadari bahwa daerah ini telah kami lewati 3 kali.
***
Setelah selesai bersembahyang di kawitan kami melanjutkan ke Pura Penataran Agung, namun aku kehilangan jejak Wisnu saat selesai bersembahyang di Pura Penataran Agung. Untungnya aku bertemu dengan Cindy dan Saras, kamipun mencari tempat makan. Sesekali aku menge-check ponselku, siapa tahu Wisnu menelpon. Ohya, dia tidak mengetahui nomer ponselku!
“Cind, kamu liat Wisnu nggak?” tanyaku pada Cindy.
“Nggak, aku nggak satu bus sama dia. Emang kenapa nyariin Wisnu?” tanyanya heran.
“Nggak kenapa kok” sahutku singkat, tanpa sadar aku menghela napas.
Dan sampai akhirnya pun aku tidak bertemu dengannya, kami berpisah bus dan sampai di sekolahpun aku tidak bertemu dengannya.
***
Aku melangkahkan kaki perlahan, sambil mataku terus mencari-cari. Hampir 5 kali aku bolak-balik dikelas sebelah, namun tak kutemukan sosok itu. Apa jangan-jangan dia tertinggal disana? Pikirku, namun segera kuhilangkan pikiran tersebut. Dan akhirnya aku menyerah dan kembali ke kelasku.
Liz menatapku heran ketika melihatku tak bersemangat hari ini. Banyak hal yang ditanyakannya, namun aku hanya tersenyum singkat dan menjelaskan kalau aku baik-baik saja. Tiba-tiba seseorang membuka pintu kelasku dengan sangat cepat.
“Nik!!! Kamu kemarin baik-baik aja kan? Aku terus mencarimu, kenapa menghilang?” tanyanya lalu memelukku erat, kontan wajahku memerah.
“A..aku baik-baik aja kok Wis. Aku kemarin mencarimu, tapi kau menghilang” jawabku, gugup.
“Syukurlah, aku mencemaskanmu” sahutnya sambil melepaskan pelukannya, lalu mengusap pipiku perlahan dan berlalu.
Ketika ia melangkahkan kakinya beberapa langkah ia berbalik, membuka tasnya lalu mengeluarkan pena dan kertas.
“Catat nomer ponselmu, nanti ku hubungi” katanya singkat.
***
“Nik, kamu ada hubungan apa sama Wisnu?” tanya Liz tiba-tiba, mengejutkan.
“Nggak ada apa Liz, memangnya kenapa Liz?” jawabku, setelah beberapa saat terdiam.
“Hm, jangan bilang-bilang ya..aku suka sama Wisnu” sahutnya, seketika wajahnya memerah.
Aku terdiam sesaat, terkejut! Tak menyangka akan menerima jawaban seperti itu.
“Kamu mau bantu aku ya Nik?” tanya Liz, aku terdiam lagi lalu memutuskan mengangguk.
“Thanks Nik, kamu memang sahabatku yang paling baik” jawabnya sambil memelukku. Lagi-lagi aku terdiam, bingung hendak melalukan apa.
***
“Hai Manik, apa kabar?” terdengar suara dari seberang, suara yang menenangkan.
“Eh, Wisnu? Aku baik, kenapa Wis?” tanyaku ketika mengetahui itu adalah telepon dari Wisnu.
“Hm- nggak kenapa sih. Kamu hari ini ada acara nggak?” tanyanya padaku.
“Kebetulan sih nggak ada” jawabku,
“Gimana kalau kita nonton? Aku kelebihan tiket nih” ajaknya, aku terdiam beberapa saat.
“Kalau diam aku anggap mau ya? Kujemput kamu, jam 7 ya. Bye” ujarnya sambil memutuskan hubungan telepon.
Aku ternganga beberapa saat, Inikah kencan pertama??
***
Aku pun bersiap-siap, setidaknya aku tidak boleh terlambat. Dan ketika waktu telah menunjukan pukul 7 malam, seseorang mengetuk pintu. Aku pun mengampirinya, akan tetapi bukan Wisnu yang muncul melainkan Eliza.
“Liz? Kenapa kemari?” tanyaku keheranan.
“Aku cuma ingin main kerumahmu, Eh? Kenapa pakaianmu..? Kamu mau kencan ya?” tanya Liz keheranan melihat pakaian yang ku kenakan. Memang saat itu aku mengenakan kaos putih yang dipadukan dengan jeans dan membiarkan rambut panjangku terurai.
Ketika aku hendak menjawab pertanyaannya, pintu pun diketuk kembali. Dan Wisnu datang dengan kemeja putih yang digulung sebatas siku dan jeans hitam dipadu dengan sepatu putih, tampak sangat tampan.
Terlintas keheranan di wajah Liz, namun ia menyembunyikannya. Lalu mengobrol dengan Wisnu, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya dapat terdiam, akhirnya Liz bertanya.
“Wis, kalian mau pergi ya? Kemana? Aku ikut ya? Lagi nggak ada kegiatan nih”
“Kalau aku sih terserah Manik, gimana Nik?” tanya Wisnu membuyarkan lamunanku.
“Terserah kalian aja, aku ikut aja deh” sahutku.
Akhirnya kami pergi menonton bertiga, aku hanya terdiam selama nonton, Liz menguasai percakapan. Yah, Liz memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan pandai berbicara. Berbeda denganku yang lebih suka diam, dan tergagap jika berbicara.
***
“Nik, kok kamu nggak ngomong sih kalau Wisnu ngajakin kamu nonton?” tanya Liz keesokan harinya di sekolah.
“Dia memberitahuku mendadak, jadi aku nggak sempat memberitahumu” jawabku.
“Kamu nggak bohong kan sama aku? Aku udah bilang kalau aku suka sama Wisnu kan sama kamu Nik?” tanyanya, dan aku hanya mengangguk.
“Aku mohon kamu jauhi Wisnu, kamu mau membantuku kan? Demi persahabatan kita?” tanyanya lagi, sontak membuatku terdiam beberapa saat. Dan akhirnya aku mengangguk, demi persahabatan? Ya, demi persahabatanku…
***
Sejak saat itu aku mulai menjauhi Wisnu, setiap bertemu secara nggak langsung aku berbalik arah. Berusaha agar tidak bertatapan secara langsung dengannya, sedangkan Liz dan Wisnu semakin lama semakin dekat. Liz setiap hari menceritakan perkembangan hubungannya dengan Wisnu, yang kudengarkan setengah hati. Ada rasa perih yang kurasakan ketika mendengarkan cerita itu.
“Kamu kenapa menjauhiku?” tanya Wisnu yang tiba-tiba sudah berada dihadapanku, saat aku sedang membaca di perpustakaan.
“A..apa maksudmu? Aku tidak mengerti” sahutku berpura-pura tidak mengerti, lalu melanjutkan bacaanku.
“Jangan berpura-pura tidak mengerti! Apa karena Liz?” tanyanya lagi, sontak aku menegang. Namun aku tetap tak menjawab.
“Aku nggak tahu kenapa kamu berubah, tapi aku harap kamu mau datang besok di taman jam 5 sore” katanya lalu berlalu.
***
Setelah itu pikiranku sulit berkonsentrasi, buku bacaanku pun tergeletak tak tersentuh. Mataku beralih pada jam didinding, pukul 6 sore. Apa dia masih menungguku? Pikirku.
Akhirnya aku menyerah, kemudian kuambil jaket dan kunci motorku lalu melesat menuju taman. Sesampainya di taman, aku tak menemukan siapapun. Tak ada siapapun disana, sepi, hening, dan sedikit menyeramkan. Apa ia telah pergi? Apa aku terlambat? Batinku. Dengan lunglai aku melangkahkan kakiku ke sebuah kursi panjang terlihat sesosok pria sedang duduk disana. Apakah itu Wisnu? Aku semakin memperlambat langkah kakiku, dengan ragu ku langkahkan kakiku mendekati kursi itu. Lalu pria itu berbalik, menyadari kedatanganku.
“Kenapa terlambat?” tanyanya.
“Kenapa kau memanggilku kemari?” tanyaku balik.
Hening sesaat, tak ada suara apapun. Aku pun diam, menunggu ia mengucapkan sesuatu. Diam yang begitu menusuk.
“Nik, aku menyukaimu..” ucapnya lalu merengkuh tubuhku dalam dekapannya.
Aku tersentak kaget, sesaat tubuhku membeku di pelukannya. Waktu seolah tak berdetak, lidahku terasa kelu. Tak ada satupun kata terucap dari mulutku, aku merutuki diriku sendiri. Perlahan pelukannya melemah, ia melepaskan pelukannya dan mengecup keningku perlahan.
“Tapi,, bagaimana dengan Liz?” tanyaku.
“Aku menyukaimu Nik, aku dan Liz hanya berteman tidak lebih dari itu”
Tiba-tiba, ranting pohon terinjak dan terdengar isak tangis seseorang. Ketika aku membalikan tubuhku, aku mengenali sosok itu. Liz!
“Cepat kejar dia Wis!” kataku dengan nada suara bergetar, lalu mendorongnya.
“Untuk apa? Bukankah baik baginya untuk mengetahui semua ini? Agar ia tak berharap lagi padaku?”
“Aku mohon, jika kamu memang menyayangiku kejar Liz! Bahagiakan dia demi aku” sahutku lirih.
Wisnu pun melangkahkan kakinya dan mengejar Liz, seketika itu juga tubuhku meluruh dan seluruh air mata tumpah. Aku menangis, dalam diam.
***
Setelah kejadian itu, Wisnu tak pernah terlihat disekolah. Menurut teman-temanku ia pindah sekolah karena ayahnya pindah tugas, dan Liz menjauhiku. Dan kini aku benar-benar sendiri, tanpa Liz dan juga Wisnu.
Hingga suatu hari, sebuah pesan singkat masuk diponselku. Kubaca, ternyata sebuah pesan dari Liz.
Nik, Temui aku di taman. Jam 5 sore. (Liz)
Aku sempat terkejut membaca surat tersebut, akhirnya aku melesat menuju taman tersebut. Namun tak ada Liz disana, tiba-tiba sebuah tangan menutup mataku dari belakang. Aku hanya tertawa, “Liz, jangan bercanda deh” kataku.
“Aku tidak bercanda Nik” sahut sebuah suara lembut sambil tangan itu mulai melepaskan mataku. Suara itu! Aku segera berbalik dan benar, Wisnu!
“Aku menyayangimu Nik” bisiknya perlahan, lalu merengkuh tubuhku. Aku hanya terdiam.
“Tapi Liz menyayangimu..” akhirnya kata itu terucap dari mulutku.
“Ya, aku tahu.. Tapi aku menyayangimu Nik, bukan Liz” sahutnya.
“Maafkan aku Nik, kalau aku terlalu egois dan mementingkan perasaanku. Tanpa mempedulikan perasaanmu” ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dibalik pepohonan, Liz.
“Liz..” bisikku.
“Kini aku tahu Nik, ada beberapa hal yang tak bisa dipaksakan. Salah satunya adalah memiliki Wisnu. Karena dia sangat menyayangimu..” kata Liz, aku langsung memeluknya.
***
Walaupun angin menerbangkan kepingan puzzle itu sejauh-jauhnya, akan tetapi kepingan itu akan kembali. Seberapapun jauhnya ia diterbangkan, ia akan selalu kembali pada pasangannya. Dan menyatu, hingga terdengar bunyi ‘Klik’.

Kamis, 11 Oktober 2012

Menatap Langit Senja..


M
ereka sangat menyukai Langit sore, perpaduan warna jingga yang menghiasi langit sore itu terlihat begitu indah. Akan tetapi, kini salah satu dari mereka takkan dapat memandangi Langit sore lagi. Tak ada lagi semburat warna yang menghiasi hidupnya. Tuhan telah merebut semburat warna-warna indah itu dari dirinya, dan hanya menyisakan satu warna untuknya, hitam…
***
Sore ini langit terlihat begitu murung, mentari pun bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam yang menggulung di langit. Perlahan gerimis pun mulai turun, membasahi alam ini. Seorang gadis memejamkan matanya merasakan betapa segarnya udara sore ini, “aah.. rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan udara sesegar ini..” bisik gadis itu pelan.
Kemudian ia meraba sekitar tempat tidur untuk mencari tongkat putihnya. Ketika tongkat itu telah berada di tangannya, ia pun segera melangkahkan kakinya menuju pantai. Tongkat putih ini adalah teman setianya selama setahun belakangan ini, tongkat yang selalu menemaninya setelah kecelakaan besar yang merenggut seluruh cahaya dihidupnya. Tuhan hanya menyisakan satu warna untuknya, hitam yang kelam.
Gadis itu melangkah dengan terseok-seok di pinggir pantai, tongkat putihnya menuntun gadis itu menuju sebuah Bale Bengong di sekitar pantai. Hari ini merupakan hari pertamanya kembali lagi menuju pesisir ini, tempat kelahirannya 17 tahun lalu. Tempat penuh kenangan akan canda dan tawanya yang kini lenyap. “Tak ada yang berubah, semua tetap sama.. hanya saja tak ada Ayah dan Bunda…” bisiknya pelan, lalu menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak mengingat hal menyakitkan itu lagi.
Hujan pun bertambah deras, awan hitam yang menggulung dari arah utara menambah kegelapan sore itu. Gadis itu tersadar setelah mendengar gemericik air hujan yang jatuh semakin deras dan suara petir yang menggelegar. Sebuah langkah kaki berlari mendekati tempatnya berteduh. “Langit..” gumam suara berat seseorang menyebutkan namanya, ia yakin itu adalah orang yang berlari tadi.
***
Senja sedang memandangi langit sore di pantai ini, hujan gerimis telah turun sedari tadi namun tak digubrisnya. Ia tetap memandangi perpaduan warna oranye dilangit itu, entah mengapa matanya ingin terus menatap langit. Ia memang menyukai langit sejak dahulu, namun baru kali ini ia begitu ingin melihat langit sore. Seolah ada sesuatu yang memanggilnya untuk memandang langit.
Tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan yang sangat deras seketika, suara guntur menggelegar membuyarkan lamunannya. Dengan cepat ia berlari mencari tempat berteduh, Bale Bengong di pantai terlihat begitu sepi hanya ada seorang wanita berkemeja putih dan celana jeans disana. Tanpa pikir panjang Senja berlari tempat itu, mulutnya ternganga begitu menyadari siapa gadis yang sedang duduk disana. “Langit..” gumam Senja, seketika itu pula gadis itu mendongak, tersentak.
“Si-siapa?” tanya gadis itu terbata-bata, “Siapa pria ini? Mengapa ia mengetahui namaku?” gumam bathinnya.
“Kau,, benar Langit?” tanyanya lagi, sambil meremas pundak gadis yang bernama Langit itu.
“Iya,,  maaf kamu siapa?” sahut gadis itu, namun ia tidak menatap bola mata Senja. Matanya tidak terfokus pada Senja.
“Apa kau tidak mengenaliku? Aku Senja..” katanya sambil menatap mata gadis itu, “Mengapa ia tidak menatapku? Tatapannya kosong..dan tongkat putih itu.. jangan-jangan dia–” kata bathinnya.
“Penglihatanku agak–..aku buta” sahut gadis itu seolah dapat mendengar kata hati Senja.
“Kau.. Langit…” gumam Senja lalu merengkuh gadis itu kedalam pelukannya, dan terisak pelan. “Maaf..” bisiknya pelan.
Pertemuan itu, merupakan pertemuan mereka untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berpisah. Dua orang sahabat yang terpisah sekian lama akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir, pertemuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
***
Hujan telah mereda, awan hitam yang menggulung di langit seolah lenyap digantikan oleh sinar rembulan. Detik demi detik pun berlalu, entah sudah berapa lama mereka terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. Deburan ombak terdengar memecah keheningan malam. Senja pun hanya diam menunggu gadis itu bicara, namun tak ada satu pun kata yang terucap darinya.
“Kamu,, apa kabar?” akhirnya sebuah kata terucap dari mulut Senja memecah keheningan.
“Ahh,, iya aku baik, kamu?” sahut gadis itu tergagap, tersentak dari lamunannya.
“Aku baik, kenapa kamu kembali kesini lagi?” tanya Senja kembali.
Tak ada jawaban yang terdengar dari Langit, ia hanya menghela nafas panjang. Ia takut lelaki itu akan menanyakan hal itu, hal yang benar-benar tak ingin ia bagi, pada siapa pun juga. Senja pun langsung menyesali pertanyaan yang ia lontarkan tadi, sungguh ia tak bermaksud memaksa gadis itu membicarakan hal itu. “Maaf,,” ujar Senja, yang hanya dijawab dengan senyuman samar oleh Langit.
“Sepertinya sudah malam, aku harus pulang” kata Langit di tengah keheningan.
“Ah–aku antar ya?” tanya Senja,
“Tidak usah, kamu pulang saja” sahut Langit.
“Tidak, aku akan mengantar kau hingga didepan rumah” ujar Senja tegas, dan gadis itu pun tidak menolaknya.
Mereka pun berjalan pulang berdua, tetap tanpa suara. Dulu mereka sangat akrab, amat sangat bahkan. Tapi kini rasa canggung menghantui mereka. Angin malam pun berhembus, tanpa sadar Langit menggigil. Senja melihat tingkah laku Langit, lalu bergegas membuka jaket hitam yang dikenakannya untuk Langit. Tubuh Langit tersentak saat merasakan jaket itu menyelimuti tubuhnya.
“Terima kasih, tapi sebaiknya untuk kamu aja” sahut Langit,
“Sudahlah, kau lebih memerlukannya. Oh ya, kau mengantarmu sampai sini saja ya? Kita sudah sampai di depan rumahmu. Bye” ujarnya lalu melangkah pergi.
***
Langit merebahkan tubuhnya pada ranjangnya, begitu ia sampai di kamarnya. Ia masih terbayang pertemuan tadi, ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu disini. Ia sangat senang dapat bertemu kembali dengan orang yang sangat dirindukannya itu, namun keadaannya kini sangat menyedihkan. Memori akan masa kecilnya kini kembali memenuhi kepalanya…
“Aduuh…”  pekik Langit kecil, ketika ia jatuh saat bermain ayunan di Taman Kanak-kanak. Lututnya berdarah, tapi ia tidak menangis hanya meringis sesekali.
“Ada apa?” tanya seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 6 tahun padanya.
“Jatuh,, dari ayunan” sahut Langit kecil pendek, tanpa memandangi anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu sibuk meraba kantongnya mencari sesuatu, dan wajahnya berubah ceriah ketika menemukan apa yang ia cari, “Pakai ini,” ujarnya sambil menyodorkan Langit kecil sebuah hansaplast bergambar bintang-bintang.
Langit kecil mendongak, lalu menerima hansaplast itu dari tangan anak laki-laki itu, “Terima Kasih” katanya pendek. Ia kebingungan akan memakai hansaplat itu untuk apa, ia tidak mengetahui cara memakainya.
“Sini, aku saja yang obati”  kata anak laki-laki itu, lalu menempelkan hansaplast untuk menutup lukanya.
“Terima Kasih” ujar Langit kecil sambil memamerkan deretan giginya yang ompong, anak laki-laki itu menjawabnya dengan senyuman, lalu berjalan menjauh. “Ah–iya tunggu, nama kamu siapa? Nama aku Langit” ucap Langit kecil sambil mengejar anak laki-laki itu.
“Namaku Senja..”
***
Sang Bola Api Raksasa mulai menampakkan dirinya malu-malu di langit bagian timur. Senja terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat, “Mungkin karena hujan-hujanan kemarin…” bathinnya. Kembali Senja teringat akan sahabatnya itu, Langit. Gadis yang dahulu sangat ceria kini berubah seratus delapan puluh derajat, ia menjadi gadis yang pemurung juga pendiam. “Aku harus mengembalikan keceriaannya lagi…”
Di kamarnya Langit terbangun dengan jaket hitam milik Senja masih melekat di tubuhnya, kepalanya sedikit pening akibat kemarin hujan-hujanan dan dimarahi Tantenya. Lalu ia meraba sekitar tempat tidurnya untuk mencari tongkatnya, tadi malam ia tertidur begitu saja, melupakan segalanya. Setelah tongkat itu berada di tangannya, ia segera melangkah menuju ruang tamu. Pagi ini suasana rumahnya sangat sepi, “Tante pergi kemana ya?” bathinnya.
Langit telah mencari Tantenya ke segala penjuru rumahnya, namun tak ditemukan juga. Akhirnya Langit memutuskan pergi ke warung untuk membeli wedang jahe untuk mengurangi pening di kepalanya. Perlahan Langit melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya ditemani oleh tongkat putih setianya. Tiba-tiba Langit merasa seseorang mengikuti langkahnya dari belakang, “Siapa orang yang mengikutiku dari belakang?” ungkap bathinnya.
 Langkah kaki itu semakin mendekati Langit, sontak membuatnya panik setengah mati. Banyak kemungkinan berseliweran di kepala Langit, “Jangan-jangan orang itu adalah perampok, pembunuh atau bahkan..pemerkosa–” ungkap bathinnya. Langit pun mencoba mempercepat langkah kakinya, tapi terlambat sebuah tangan telah menyentuh pundaknya.
“KYAAAAAAAAAAAA……” jeritnya tanpa sadar, lalu tongkatnya digunakan untuk memukuli orang itu.
“A..aduh–aduh.. hentikan. Ini aku,, Senja” pekik orang itu, seorang pria.
 “Ah–maafkan aku Senja..” ujarnya sambil membungkukkan badannya.
“Tidak usah dipikirkan, by the way kau ingin kemana pagi-pagi begini?” tanya Senja.
“Warung,, beli wedang jahe” sahutnya singkat.
“Bagaimana kalau aku traktir kamu? Sebagai permintaan maafku” kata Senja.
“Hey, kau mengejekku ya? Kan aku yang salah, baiklah aku yang akan mentraktirmu wedang jahe” ujar Langit, tanpa sadar sudut bibirnya sedikit terangkat. Senja pun tanpa terasa ikut tersenyum melihat senyum gadis itu kembali.
***
Sejak saat itu, mereka kembali menjadi akrab. Kemana pun selalu bersama, seolah - olah takkan terpisahkan. Bahkan mungkin telah tumbuh sesuatu di dalam hati mereka yang tidak disadari. Sebuah perasaan ingin memiliki, dan ingin selalu bersama.
“POS!!!!!! Surat datang!!!!!” teriak tukang pos dari luar pagar, mengagetkan Langit dan Senja yang sedang bersantai di halaman belakang. Dengan terpaksa Senja bangun dan menghampiri Tukang Pos itu, meninggalkan Langit sendirian di halaman belakang rumahnya.
“Surat apaan nih?” gumamnya sendirian. Dengan penasaran Senja segera membuka surat beramplop coklat itu, dan sungguh isi dari surat itu membuatnya sangat kaget. “Mengapa harus disaat seperti ini??” bisik bathinnya, segera saja ia menyembunyikan surat itu, lalu kembali menemui Langit dengan wajah murung. Isi surat itu benar-benar membuatnya bingung, hingga sering kali ia menghela nafas.
“Kamu kenapa sih Senja?” tanya Langit menyadari keanehan sikap sahabatnya.
“Hmm, nothing…” sahut Senja singkat.
“Jujur saja, ada masalah apa Senja? Dan surat tadi itu surat apa?” tanyanya kembali.
“Tidak…” sahut Senja tak bersemangat.
“Sudahlah, kau tak perlu berpura-pura padaku. Aku dapat– ” belum Langit menyelesaikan kalimatnya, kalimatnya telah dipotong oleh Senja.
“Kamu dapat apa? Kau dapat melihatnya? Apa kau lupa, kau tidak dapat melihat Langit!” kata Senja sedikit kasar.
Langit terkesiap mendengar perkataan Senja, tanpa disadari air mata Langit menetes perlahan, membasahi kelopak matanya. Melihat air mata Langit mengalir di pipinya, detik itupun juga Senja langsung menyesali kata-kata yang terucap dari mulutnya sendiri.
“Langit,, maafkan aku.. aku tidak bermaksud seperti itu” kata Senja memohon maaf pada Langit.
“Maaf, aku harus pulang” kata Langit, lalu berjalan pulang ditemani tongkat putihnya.
***
Di dalam kamarnya, Senja membaca sekali lagi surat itu. Surat pemberitahuan bahwa ia diterima di sekolah kedokteran di Perth, Australia Barat sekolah yang diimpikannya sejak dulu. Namun kini ia merasa itu tidak berarti lagi, apabila ia harus meninggalkan sahabatnya–Langit– sendirian disini. Di tambah lagi sekarang gadis itu marah padanya, gara-gara perkataannya tadi.
“AARRGGHHH” teriak Senja.
“Kamu kenapa sih?” tanya Sophie, kakak Senja dari balik pintu dengan alis berkerut. Senja pun menceritakan semua masalahnya pada Sophie, karena menurutnya tidak akan ada gunanya berbohong pada kakaknya yang tahu segalanya ini. Sophie adalah kakak Senja, calon Psikolog yang sedang mengerjakan skripsinya. Sophie hanya manggut-manggut mendengarkan cerita Senja.
“Trus? Sekarang kamu pengennya gimana? Kalau kakak jadi kamu, pasti kakak bakal pilih sekolah di Perth” tuturnya setelah mendengarkan cerita Senja dengan seksama.
“Entahlah kak..” sahut Senja seadanya, ia belum bisa memutuskannya saat  ini.
“Ya sudah, pikirin dulu baik-baik. Jangan sampai menyesal nanti” ujar Sophie sebelum meninggalkan Senja di kamarnya.
***
Langit menutup ponselnya, beberapa saat yang lalu ia mendapatkan telepon dari Kak Sophie, kakak Senja. Kak Sophie menceritakan segala yang dirisaukan oleh Senja pada Langit, mengenai sekolah kedokteran di Perth dan dirinya. Langit mendengarkan dengan mulut ternganga sempurna, “Jadi karena itu Senja kemarin sangat risau..”. Lalu dengan segera Langit menghubungi Senja, agar menemuinya di pantai saat ini.
Senja bergegas ke pantai begitu mendapatkan telepon dari Langit, Langit mengatakan bahwa ia menunggu Senja di pantai hari ini. Dengan setengah berlari Senja menuju pantai, mencari Langit. Dilihatnya Langit sedang duduk di Bale Bengong sekitar pantai. Langit yang sudah merasakan kehadiran Senja, langsung menyuruh Senja duduk disampingnya.
“Senja, aku punya sebuah kisah mengenai persahabatan seorang gadis dan sahabatnya. Mereka bersahabat sejak kecil, namun mereka sempat berpisah selama beberapa tahun. Akan tetapi takdir kembali mempersatukan mereka..” cerita Langit, Senja menahan nafas mendengarnya. Langit pun kembali melanjutkan ceritanya “Tapi, tahukah kau? Gadis itu kembali dengan mata yang buta, ia tak dapat melihat. Awalnya gadis itu menjauhi sahabatnya itu, ia malu karena dirinya buta. Tetapi sahabatnya terus mendekatinya, akhirnya mereka bersahabat kembali..”
“Itu kan…” gumam Senja, “Ssst, biarkan aku melanjutkan ceritaku” sahut Langit.
“Dan, suatu hari sahabat dari gadis itu mendapatkan surat dari sekolah kedokteran di Perth untuk bersekolah disana namun ia tak ingin meninggalkan sahabatnya disini. Jika kau jadi sahabat gadis itu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Langit, akan tetapi tak ada jawaban yang terdengar. “Jika aku jadi sahabat gadis itu, aku pasti akan pergi dan bersekolah di Perth” sambung Langit dengan suara bergetar.
“Tapi, bagaimana dengan gadis itu?” tanya Senja dengan suara bergetar hebat.
“Jika aku menjadi gadis itu, pasti aku akan membiarkannya pergi untuk meraih mimpinya. Dan aku pasti akan sangat sedih jika sahabatku meninggalkan kesempatan emas itu hanya demi diriku. Karena kata Almarhumah Bundaku dulu ‘Jika ada seseorang mengetuk pintu, cepatlah buka pintunya karena belum tentu pintu akan diketuk untuk kedua kalinya’. Aku sangat berharap sahabatku meraih mimpinya, dan kembali kesini menjadi dokter yang hebat. Agar tak seperti aku yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang aku inginkan” sahut Langit dengan air mata yang mengalir di pipinya, Senja segera merengkuh gadis itu kedalam pelukannya.
***
Empat tahun kemudian…
“….begitulah cerita si Kancil yang nakal akhirnya mendapat ganjarannya. Sekian untuk hari ini anak-anak, besok lagi ya” ujar Langit mengakhiri dongengannya untuk anak-anak didiknya.
“PROK,PROK,PROK” tepuk tangan yang sangat keras menutup ceritanya kali ini, “Siapa yang bertepuk tangan?” ujarnya membathin.
“Cerita yang bagus..” ujar suara berat menjawab pertanyaannya.
“Kau?? Senja?” pekiknya riang tanpa sadar.
“Kau ingat kisah seorang gadis dengan sahabatnya itu? Aku ingin melanjutkan kisah yang terpotong itu. Kini sahabat gadis itu sudah berhasil menjadi dokter yang hebat dan ia ingin melamar gadis itu. Jika kau menjadi gadis itu? Maukah kau menikah dengan sahabatmu itu?” tanya Senja. “Hmm,, tentu saja gadis itu akan menerimanya!!!” sahut Langit sambil tersenyum. Senja pun merengkuh gadis itu kedalam pelukannya…
 

Bintang Jatuh. Design By: SkinCorner