BESAKIH…
Pernahkah saat kau bersama
seseorang kau merasa seolah-olah kau menemukan seseorang yang sangat tepat.
Seperti kepingan puzzle yang bertemu pasangannya, dan terdengar bunyi ‘Klik’ saat
menyatu? Seperti itulah rasanya. Namun angin meniupnya, dan kepingan itu
terbawa oleh angin…
***
Detik demi detik terasa berjalan
sangat lambat, entah sudah berapa kali aku menguap diam-diam sepanjang
pelajaran berlangsung. Sedangkan teman sebangkuku, Liz tak pernah berhenti
berbicara. Sepanjang pelajaran ia selalu berbicara, beberapa kali ia mencoba
mengajakku berbicara namun responku hanya tersenyum.
Mataku sudah hampir terpejam
seandainya saja Liz tidak berteriak sekencang itu, disusul oleh teriakan
teman-teman lainnya. Kontan mataku terbelalak, “Lho? Ada apa ini?” pikirku.
“Liz? Kamu ngapain?” bisikku.
“Nik, kita bakal Tirta Yatra ke
pura Besakih!!” sahutnya dengan wajah cerah sempurna.
“Terus?” tanyaku blo’on.
“Ini pertama kalinya aku bakal
kesana Nik, aku belum pernah kesana tahu” sahutnya masih bersemangat.
“Dan semoga kita satu bus
dengannya” lanjutnya, sebelum aku sempat membuka mulutku untuk bertanya bell
pelajaran berakhir berdering.
***
“Nik, kawitanmu apa?” tanya Liz
saat kami sedang mengantri di kantin, “Nanti kita ke kawitan bareng yuk waktu
di Besakih?” lanjutnya,bahkan aku belum sempat menjawab pertanyaan pertamanya.
Tiba-tiba, “Eh, Wis kawitanmu apa? Kawitanku
Pasek Gelgel lho” tanya Liz pada seseorang, kepalaku sontak menoleh kebelakang.
“Kawitanku Bendesa Mas, kayak
Manik” jawabnya singkat. “Nanti kita berangkat bareng yah, Nik” lanjutnya
sambil tersenyum, lalu berlalu.
Aku hanya dapat ternganga menatap
punggungnya, hingga Liz menyadarkanku.
“Kok dia bisa tahu kawitanmu Nik?”
tanya Liz dengan nada heran, dan aku hanya mengangkat bahuku. Itu yang sedang
aku pikirkan…
***
“Duh Nik, kamu itu beruntung
banget!! Bisa bareng sama Wisnu ke Besakihnya. Huh, seandainya boleh ditukar,
aku mau deh jadi kamu Nik” gerutu Liz ketika tiba di kelas. Aku hanya
membalasnya dengan senyuman.
“Ohya, kok dia bisa tahu kawitanmu
sih Nik?” tanya Liz tiba-tiba. “Apa jangan-jangan..” lanjutnya menggantung.
“Jangan-jangan apa? Mungkin saja
dia tanya Setya,Setya kan kenal kita” sahutku ringan.
“Mungkin…” gumam Liz, terdengar curiga.
***
Aku melangkah dengan lesu memasuki
ruang kelasku, beberapa temanku menyapa dan kubalas dengan senyum seadanya.
“Manik!!!” teriak sebuah suara
memanggil namaku, suara melengking yang aku sangat kenal. Liz.
“Ada apa Liz?”
“Kamu tahu nggak kita bakal satu
bus sama anak kelas sebelah! Dan itu artinya kita bakal satu bus sama Wisnu!!”
jeritnya histeris.
Aku hanya menggeleng-gelengkan
kepala mendengarnya, dasar Liz. Liz memang gadis yang cantik, sangat cantik.
Dia tinggi dengan rambut pendek sebahu, bentuk wajah oval dan kulit putih.
Berbeda denganku, aku bisa dikategorikan gadis yang tinggi walaupun tak
setinggi Liz, wajahku bulat dengan mata bulat, rambut panjang sepinggang dan
kulit coklat seperti gadis bali pada umumnya.
***
“Pagi Nik, lagi nyari tempat duduk?
Disebelahku ada yang kosong.” tanya sebuah suara ketika aku sedang mencari
tempat duduk dalam bus. Suara lembut yang pernah ku dengar. Ketika kutolehkan
kepalaku, ternyata Wisnu!
“Ah? Iya, aku mau duduk dibelakang
aja Wis” sahutku lalu beranjak mencari tempat duduk yang lain, namun tangan itu
menarikku dan aku terduduk tepat disebelahnya.
“Nah, udah dapet tempat duduk kan?
Biar nanti aku nggak susah nyari kamu” katanya.
Dan aku hanya bisa tersenyum. Salah
tingkah!
Beberapa kali dia memancing
obrolan, namun aku hanya menjawab singkat. Sungguh, selain aku memang malas
berbicara, aku juga sangat salting! Tiba-tiba…
“Manik? Kok kamu duduk disini?”
tanya Liz terkejut melihatku duduk dekat dengan Wisnu.
“Ah, itu tadi..” jawabku bingung.
“Tadi aku yang minta dia duduk
disini Liz, biar bisa ke kawitan bareng” sahut Wisnu menolongku sambil
memamerkan deretan giginya.
“Ohh.. gitu” sahut Liz singkat, ada
yang aneh dalam nada suaranya.
“Ohya, Liz.. aku boleh tukaran
tempat duduk nggak? Aku biasanya mual kalo duduk dibelakang” lanjutnya, spontan
aku mengangguk.
Saat aku sudah bertukar tempat
duduk dengan Liz, ponselku bergetar. Ada sebuah pesan.
Liz
: Thanks ya Nik ;)
***
Alunan lagu Dear God mengalun
lembut di earphone ku, membuat mataku memberat dan hampir tertidur. Saat mataku
hampir terpejam, bus tidak-tiba berhenti mendadak dan mati. Ada apa ini tuhan?
Supir bus dan beberapa siswa
laki-laki dari kelasku keluar untuk memeriksa keadaan, ternyata ban bus kempes
dan mesin mati. Sungguh aku sangat ketakutan.
“Anak-anak, nanti kalian berjalan
menuju bus yang ada didepan. Kita berpencar ke bus yang lainnya” perintah pak
Dewa saat itu. Kami pun berhamburan keluar dan berlari menuju bus didepan kami.
Aku mencoba berlari sekencang-kencangnya,
namun aku sangat lelah ditambah lagi cuaca sedang hujan. dan akhirnya aku
tubuhku meluruh perlahan. Namun sebelum tubuhku benar-benar jatuh seseorang
telah menahan tubuhku. Wisnu!
“Kamu nggak kenapa-kenapa kan Nik?
Masih bisa jalan?” tanya nya. Aku hanya terdiam, antara kaget bercampur malu.
Akhirnya ia berjongkok didepanku,
dan menyuruh ku naik kepunggungnya.
“Ayolah naik! Lebih cepat lebih
baik, atau aku tinggal?” tanya Wisnu, akhirnya aku menurut dan ia menggendongku
sampai di bus. Didalam bus Wisnu selalu berada disebelahku, melindungiku dari
beberapa tangan-tangan jahil siswa-siswa di bus tersebut. Bahkan ada beberapa
siswa menggodaku, dan mengumpat kami. Karena hanya ada kami yang tersesat dalam
bus itu.
Ada debar aneh yang kurasakan saat tangan
itu mengenggam tanganku. Ketika kuperhatikan wajahnya memang cukup tampan,
rahangnya tegas, dan satu hal yang membuatku terpana padanya adalah tatapan
matanya yang tajam ditambah kacamata minusnya yang setia bertengger di
wajahnya.
***
Kami berdua bergegas turun dari bus
itu sesampainya di Besakih. Dan selama itu ia selalu menggenggam tanganku,
sangat erat.
Akhirnya kami bertemu dengan
beberapa teman kami, termasuk Liz. Yang langsung memelukku, dan bertanya sangat
banyak. Dan tak ada satupun yang dapat aku jawab. Wisnu lah yang menjawab semua
pertanyaan itu, sambil tangannya masih bertaut dengan tanganku. Aku merasakan
tatapan yang berbeda di mata Liz.
Setelah beberapa lama kami
mengobrol kami kemudian berpisah dengan Liz dan melanjutkan perjalanan menuju
kawitan masing-masing.
“Nik, kamu tahu dimana letak
kawitannya?” tanya Wisnu padaku, aku hanya menggeleng pelan.
“Aku kira kamu tahu Wis” jawabku
sambil nyengir.
“Hadeh, aku juga nggak tahu Nik.
Makanya aku ngajak kamu” jawabnya sambil mengacak rambutku.
Dan akhirnya setelah beberapa lama
kami berkeliling dan bertanya sana-sini, kami menemukan kawitan kami dan
bersembahyang disana. Dan kami hanya menahan tawa ketika menyadari bahwa daerah
ini telah kami lewati 3 kali.
***
Setelah selesai bersembahyang di
kawitan kami melanjutkan ke Pura Penataran Agung, namun aku kehilangan jejak
Wisnu saat selesai bersembahyang di Pura Penataran Agung. Untungnya aku bertemu
dengan Cindy dan Saras, kamipun mencari tempat makan. Sesekali aku menge-check
ponselku, siapa tahu Wisnu menelpon. Ohya, dia tidak mengetahui nomer ponselku!
“Cind, kamu liat Wisnu nggak?”
tanyaku pada Cindy.
“Nggak, aku nggak satu bus sama
dia. Emang kenapa nyariin Wisnu?” tanyanya heran.
“Nggak kenapa kok” sahutku singkat,
tanpa sadar aku menghela napas.
Dan sampai akhirnya pun aku tidak
bertemu dengannya, kami berpisah bus dan sampai di sekolahpun aku tidak bertemu
dengannya.
***
Aku melangkahkan kaki perlahan,
sambil mataku terus mencari-cari. Hampir 5 kali aku bolak-balik dikelas
sebelah, namun tak kutemukan sosok itu. Apa jangan-jangan dia tertinggal
disana? Pikirku, namun segera kuhilangkan pikiran tersebut. Dan akhirnya aku
menyerah dan kembali ke kelasku.
Liz menatapku heran ketika
melihatku tak bersemangat hari ini. Banyak hal yang ditanyakannya, namun aku
hanya tersenyum singkat dan menjelaskan kalau aku baik-baik saja. Tiba-tiba
seseorang membuka pintu kelasku dengan sangat cepat.
“Nik!!! Kamu kemarin baik-baik aja
kan? Aku terus mencarimu, kenapa menghilang?” tanyanya lalu memelukku erat,
kontan wajahku memerah.
“A..aku baik-baik aja kok Wis. Aku
kemarin mencarimu, tapi kau menghilang” jawabku, gugup.
“Syukurlah, aku mencemaskanmu”
sahutnya sambil melepaskan pelukannya, lalu mengusap pipiku perlahan dan
berlalu.
Ketika ia melangkahkan kakinya
beberapa langkah ia berbalik, membuka tasnya lalu mengeluarkan pena dan kertas.
“Catat nomer ponselmu, nanti ku
hubungi” katanya singkat.
***
“Nik, kamu ada hubungan apa sama
Wisnu?” tanya Liz tiba-tiba, mengejutkan.
“Nggak ada apa Liz, memangnya kenapa
Liz?” jawabku, setelah beberapa saat terdiam.
“Hm, jangan bilang-bilang ya..aku
suka sama Wisnu” sahutnya, seketika wajahnya memerah.
Aku terdiam sesaat, terkejut! Tak
menyangka akan menerima jawaban seperti itu.
“Kamu mau bantu aku ya Nik?” tanya
Liz, aku terdiam lagi lalu memutuskan mengangguk.
“Thanks Nik, kamu memang sahabatku
yang paling baik” jawabnya sambil memelukku. Lagi-lagi aku terdiam, bingung
hendak melalukan apa.
***
“Hai Manik, apa kabar?” terdengar
suara dari seberang, suara yang menenangkan.
“Eh, Wisnu? Aku baik, kenapa Wis?”
tanyaku ketika mengetahui itu adalah telepon dari Wisnu.
“Hm- nggak kenapa sih. Kamu hari
ini ada acara nggak?” tanyanya padaku.
“Kebetulan sih nggak ada” jawabku,
“Gimana kalau kita nonton? Aku
kelebihan tiket nih” ajaknya, aku terdiam beberapa saat.
“Kalau diam aku anggap mau ya?
Kujemput kamu, jam 7 ya. Bye” ujarnya sambil memutuskan hubungan telepon.
Aku ternganga beberapa saat, Inikah
kencan pertama??
***
Aku pun bersiap-siap, setidaknya
aku tidak boleh terlambat. Dan ketika waktu telah menunjukan pukul 7 malam,
seseorang mengetuk pintu. Aku pun mengampirinya, akan tetapi bukan Wisnu yang
muncul melainkan Eliza.
“Liz? Kenapa kemari?” tanyaku
keheranan.
“Aku cuma ingin main kerumahmu, Eh?
Kenapa pakaianmu..? Kamu mau kencan ya?” tanya Liz keheranan melihat pakaian
yang ku kenakan. Memang saat itu aku mengenakan kaos putih yang dipadukan
dengan jeans dan membiarkan rambut panjangku terurai.
Ketika aku hendak menjawab
pertanyaannya, pintu pun diketuk kembali. Dan Wisnu datang dengan kemeja putih
yang digulung sebatas siku dan jeans hitam dipadu dengan sepatu putih, tampak
sangat tampan.
Terlintas keheranan di wajah Liz,
namun ia menyembunyikannya. Lalu mengobrol dengan Wisnu, entah apa yang mereka
bicarakan. Aku hanya dapat terdiam, akhirnya Liz bertanya.
“Wis, kalian mau pergi ya? Kemana?
Aku ikut ya? Lagi nggak ada kegiatan nih”
“Kalau aku sih terserah Manik,
gimana Nik?” tanya Wisnu membuyarkan lamunanku.
“Terserah kalian aja, aku ikut aja
deh” sahutku.
Akhirnya kami pergi menonton
bertiga, aku hanya terdiam selama nonton, Liz menguasai percakapan. Yah, Liz
memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan pandai berbicara. Berbeda
denganku yang lebih suka diam, dan tergagap jika berbicara.
***
“Nik, kok kamu nggak ngomong sih
kalau Wisnu ngajakin kamu nonton?” tanya Liz keesokan harinya di sekolah.
“Dia memberitahuku mendadak, jadi
aku nggak sempat memberitahumu” jawabku.
“Kamu nggak bohong kan sama aku?
Aku udah bilang kalau aku suka sama Wisnu kan sama kamu Nik?” tanyanya, dan aku
hanya mengangguk.
“Aku mohon kamu jauhi Wisnu, kamu
mau membantuku kan? Demi persahabatan kita?” tanyanya lagi, sontak membuatku
terdiam beberapa saat. Dan akhirnya aku mengangguk, demi persahabatan? Ya, demi
persahabatanku…
***
Sejak saat itu aku mulai menjauhi
Wisnu, setiap bertemu secara nggak langsung aku berbalik arah. Berusaha agar
tidak bertatapan secara langsung dengannya, sedangkan Liz dan Wisnu semakin
lama semakin dekat. Liz setiap hari menceritakan perkembangan hubungannya dengan
Wisnu, yang kudengarkan setengah hati. Ada rasa perih yang kurasakan ketika
mendengarkan cerita itu.
“Kamu kenapa menjauhiku?” tanya
Wisnu yang tiba-tiba sudah berada dihadapanku, saat aku sedang membaca di
perpustakaan.
“A..apa maksudmu? Aku tidak mengerti”
sahutku berpura-pura tidak mengerti, lalu melanjutkan bacaanku.
“Jangan berpura-pura tidak
mengerti! Apa karena Liz?” tanyanya lagi, sontak aku menegang. Namun aku tetap
tak menjawab.
“Aku nggak tahu kenapa kamu
berubah, tapi aku harap kamu mau datang besok di taman jam 5 sore” katanya lalu
berlalu.
***
Setelah itu pikiranku sulit
berkonsentrasi, buku bacaanku pun tergeletak tak tersentuh. Mataku beralih pada
jam didinding, pukul 6 sore. Apa dia masih menungguku? Pikirku.
Akhirnya aku menyerah, kemudian kuambil
jaket dan kunci motorku lalu melesat menuju taman. Sesampainya di taman, aku
tak menemukan siapapun. Tak ada siapapun disana, sepi, hening, dan sedikit
menyeramkan. Apa ia telah pergi? Apa aku
terlambat? Batinku. Dengan lunglai aku melangkahkan kakiku ke sebuah kursi
panjang terlihat sesosok pria sedang duduk disana. Apakah itu Wisnu? Aku
semakin memperlambat langkah kakiku, dengan ragu ku langkahkan kakiku mendekati
kursi itu. Lalu pria itu berbalik, menyadari kedatanganku.
“Kenapa terlambat?” tanyanya.
“Kenapa kau memanggilku kemari?”
tanyaku balik.
Hening sesaat, tak ada suara
apapun. Aku pun diam, menunggu ia mengucapkan sesuatu. Diam yang begitu
menusuk.
“Nik, aku menyukaimu..” ucapnya
lalu merengkuh tubuhku dalam dekapannya.
Aku tersentak kaget, sesaat tubuhku
membeku di pelukannya. Waktu seolah tak berdetak, lidahku terasa kelu. Tak ada
satupun kata terucap dari mulutku, aku merutuki diriku sendiri. Perlahan
pelukannya melemah, ia melepaskan pelukannya dan mengecup keningku perlahan.
“Tapi,, bagaimana dengan Liz?”
tanyaku.
“Aku menyukaimu Nik, aku dan Liz
hanya berteman tidak lebih dari itu”
Tiba-tiba, ranting pohon terinjak
dan terdengar isak tangis seseorang. Ketika aku membalikan tubuhku, aku
mengenali sosok itu. Liz!
“Cepat kejar dia Wis!” kataku
dengan nada suara bergetar, lalu mendorongnya.
“Untuk apa? Bukankah baik baginya
untuk mengetahui semua ini? Agar ia tak berharap lagi padaku?”
“Aku mohon, jika kamu memang
menyayangiku kejar Liz! Bahagiakan dia demi aku” sahutku lirih.
Wisnu pun melangkahkan kakinya dan
mengejar Liz, seketika itu juga tubuhku meluruh dan seluruh air mata tumpah.
Aku menangis, dalam diam.
***
Setelah kejadian itu, Wisnu tak
pernah terlihat disekolah. Menurut teman-temanku ia pindah sekolah karena ayahnya
pindah tugas, dan Liz menjauhiku. Dan kini aku benar-benar sendiri, tanpa Liz
dan juga Wisnu.
Hingga suatu hari, sebuah pesan
singkat masuk diponselku. Kubaca, ternyata sebuah pesan dari Liz.
Nik,
Temui aku di taman. Jam 5 sore. (Liz)
Aku sempat terkejut membaca surat
tersebut, akhirnya aku melesat menuju taman tersebut. Namun tak ada Liz disana,
tiba-tiba sebuah tangan menutup mataku dari belakang. Aku hanya tertawa, “Liz,
jangan bercanda deh” kataku.
“Aku tidak bercanda Nik” sahut
sebuah suara lembut sambil tangan itu mulai melepaskan mataku. Suara itu! Aku
segera berbalik dan benar, Wisnu!
“Aku menyayangimu Nik” bisiknya
perlahan, lalu merengkuh tubuhku. Aku hanya terdiam.
“Tapi Liz menyayangimu..” akhirnya
kata itu terucap dari mulutku.
“Ya, aku tahu.. Tapi aku
menyayangimu Nik, bukan Liz” sahutnya.
“Maafkan aku Nik, kalau aku terlalu
egois dan mementingkan perasaanku. Tanpa mempedulikan perasaanmu” ucap
seseorang yang tiba-tiba muncul dibalik pepohonan, Liz.
“Liz..” bisikku.
“Kini aku tahu Nik, ada beberapa
hal yang tak bisa dipaksakan. Salah satunya adalah memiliki Wisnu. Karena dia
sangat menyayangimu..” kata Liz, aku langsung memeluknya.
***
Walaupun angin menerbangkan
kepingan puzzle itu sejauh-jauhnya, akan tetapi kepingan itu akan kembali. Seberapapun
jauhnya ia diterbangkan, ia akan selalu kembali pada pasangannya. Dan menyatu,
hingga terdengar bunyi ‘Klik’.
0 komentar:
Posting Komentar