Mentari telah kembali ke peraduannya, sinarnya pun
digantikan oleh sang Rembulan yang perlahan-lahan merangkak ke atas langit
malam. Tapi aku masih terdiam disini, di tepi pantai di bawah kerindangan pohon
Camplung ini ditemani oleh deburan ombak, menunggu ketidakpastian akan sebuah
cinta. Masih segar di ingatanku, mengenai sebuah kisah yang terjadi di bawah
pohon ini. Kisah yang terlalu indah untuk dilupakan begitu saja. Kenangan itu
kembali mengusik pikiranku, membuat anganku melayang ke masa disaat kisah itu
terjadi.
***
Kisah itu
terjadi setengah tahun lalu…
Hari itu, hari pertama liburan
musim panas. Aku mengendarai motorku dengan malas menuju pantai, untuk membantu
bunda ku di toko milik keluarga kami. Sejak hubunganku dengan Bram berakhir
ditengah jalan, ‘sindrom’ malas mulai
menguasai diriku. Malas makan, malas mandi, malas sekolah, dan malas-malas
lainnya. Yah, mungkin inilah namanya
putus cinta, apapun yang aku lakukan selalu teringat akan dia. Bahkan karena shock akan keputusan Bram yang terlalu
mendadak, aku sempat jatuh sakit. Dan rasa sakit akan keputusan Bram mengakhiri
hubungan ini lebih sakit daripada sakit gara-gara sakit gigi. Itulah yang
membuatku sangat setuju dengan lirik lagu Meggy Z, “…daripada sakit hati, lebih
baik sakit gigi…”. Siapa coba, yang mau
sakit hati! Mending sakit gigi donk, daripada sakit hati!
“PRITTT….”
Sebuah suara peluit sontak
membuyarkan lamunanku, nyaris menjatuhkan ku dari motorku. Tiba-tiba muncul
sesosok pria bertubuh jangkung dan ber-tatto
yang menghadang jalan motorku, tangannya mengepal. Ada apa ini tuhan! Suaraku tercekat di tenggorokan, ketakutanku
semakin menjadi, hingga suaraku terdengar mendecit. Namun sesaat aku sempat
terpesona pada pria itu.
“Heh!Bayar Parkir dong!” seru pria
itu.
APA???
Seruku membatin, “Ooh,, Iya nanti aku bayar deh” sahutku ringan, biasanya juga aku nggak pernah bayar parkir!
“Liat tulisan disana kan? Masuk Rp.
1000” tunjuknya kearah plang parkir.
“Iyaiyalah liat, dikira aku buta
apa??” Gerutuku kecil.
“Yaudah, bayar sekarang!”
bentaknya.
“Oke, aku bayar sekarang!” seruku
balik membentaknya, sambil mencari-cari uang di saku celanaku. Akan tetapi aku
tak menemukan uangku dimanapun, kepanikan mulai menyerangku, dan Malu tentu saja!
“Cepetan woi!!” seru pria itu lagi.
Aku tetap bergeming, tak tahu harus
berbuat apa. Seandainya saja Tuhan dapat membuatku menghilang saat ini juga, benar-benar memalukan!
“Huuh, cantik-cantik nggak punya
du…” katanya, namun segera terpotong seruan seseorang.
“Lita!!! Bunda tungguin dari tadi,
kemana aja?” tanya wanita paruh baya itu, yang ternyata adalah bundaku.
“Bunda??” gumam pria itu.
“Bund, ada uang seribu nggak? Aku
disuruh bayar parkir sama orang itu” kataku sambil merajuk, tanpa mempedulikan
tatapan mata pria menyebalkan itu.
“Ooh, nak Dika ini anak tante.
Nanti tante yang bayarin parkirnya dia ya?” kata bunda.
“Oh, jadi cewek ini anak tante?
Hehe,, nggak usah dibayar deh tante” ucapnya sambil memamerkan deretan giginya,
dan aku tahu ia sangat MALU.
“Makanya, nanyak dulu dong!!”
seruku, sambil menjulurkan lidahku.
“Udah ah, malu. Ayo kamu bantu
bunda ditoko” kata bunda melerai kami, sesungguhnya sih menyeretku pergi.
Bunda ku memang memiliki sebuah
toko dipinggir pantai, sebagai sumber penghasilan keluarga kami. Dulu Bunda dan
Ayahku bertemu di Pantai ini, batinku ketika teringat kisah Bunda dan Ayahku
itu. Tanpa sadar aku mengulum tawaku, jika membayangkan kisah itu.
“Litaa, kamu mau bantu Bunda atau
bengong? Cepetan!” kata Bunda, membuyarkan lamunan ‘gak penting’ ku itu.
“Iya Bunda, ini Lita udah cepet
kok!” sahutku sambil setengah berlari menghampiri bunda dari seberang jalan.
Namun, tiba-tiba sebuah mobil
melaju kencang dari arah kiri. Aku yang terburu-buru menghampiri bunda tak
sempat menghindari mobil itu, beruntung sebuah tangan dengan ‘keren’nya menarik
dan menahanku agar tidak jatuh.
“Terima,, ka…” ucapku, namun segera
terpotong melihat siapa pemilik ‘tangan’ yang menolongku tadi.
“Kamu?? Nggak usah sok pahlawan
deh!” lanjutku.
“Bukannya berterima kasih,malah
ngatain orang. Kenapa nggak kubiarkan saja dia mati tadi” gumam si tukang
parkir itu.
***
Semenjak itu hidupku perlahan-lahan
mulai berubah. Aku menjadi cukup rajin membantu bunda di toko, hampir setiap
hari. Walaupun di siang hari pasti aku izin pulang ke rumah untuk nonton drama
korea favoritku. Ada sesuatu yang menarik akan pria yang bernama Andika itu,
entahlah.
Awalnya aku ketakutan pada pria
itu, bagaimana tidak. Tampangnya seratus persen menakutkan, PREMAN banget! Pria bertubuh jangkung,
dengan Tatto yang menghiasi tangan kanannya, serta rokok yang selalu ada
ditangannya, membuatnya terlihat tambah menakutkan. Akan tetapi, ada satu hal
yang membuatku menahan senyum melihat penampilan preman satu ini, Lesung
Pipitnya yang sangat manis! Dapat dibayangkan jika melihat seorang preman
memiliki lesung pipit, terlihat sangat Manis! Namun, ketika aku semakin mengenalnya,
aku merasa tanggapanku terhadapnya pertama kali itu salah besar. Andika bukan orang yang jahat, dia baik…
Dan itu memang benar, walau awalnya
ia terlihat menakutkan dan sedikit kasar namun sebenarnya ada kebaikan
didalamnya. Dia selalu menolongku, menghidupkan lampu toilet yang cukup tinggi
(atau aku yang pendek?), mengantar
sepeda, dan menutup toko jika ada masalah dengan pintunya. Terlihat biasa
memang, namun hal-hal sedetail itulah yang menarik perhatianku.
Hingga akhirnya, sebuah rasa mulai
tumbuh didada ini. Sebuah rasa tak ingin kehilangan dan rasa ingin memiliki.
Aku coba ‘tuk menepis rasa ini, namun
selalu gagal. Rasa ini malah semakin kuat, dan sulit untuk dipendam. Padahal,
kami baru dua minggu berkenalan.
Suatu hari, dengan cara yang tak terduga
dia meminta nomer ponselku. Ia beralasan meminjam sisir rambutku, karena ia
baru saja mengganti warna rambutnya (bayangkan
saja, tiga kali berganti warna rambut yang berbeda dalam satu hari!), pada
saat itu ia menanyakan nomer ponselku. Dengan perasaan berdebar aku mengucapkan
sederet angka yang telah ku hafal luar kepala.
Hari silih berganti, membuat kami
semakin sering sms-an. Walau terkadang ia mengejekku habis-habisan, karena
bensin motorku pernah habis ditengah jalan, kelalaianku menghilangkan kunci
motor, dan banyak lagi kekonyolan yang kuperbuat. Sungguh memalukan!
Selain itu, ada sebuah kisah konyol
yang aku yakin membuat orang tertawa mendengarnya. Hari itu, sehari menjelang
ulang tahunku sahabat-sahabatku mengajakku hunting
novel di sebuah toko buku diskon. Karena ayahku sibuk, jadilah aku menaiki
sepeda ke rumah sahabatku itu, selain sehat juga hemat! Sebelumnya aku
menitipkan motorku di pantai. Saat aku berbalik, setelah memarkirkan motorku.
Aku melihat matanya membulat, kaget melihatku (atau terpesona?). aku bertanya-tanya, apa pakaianku salah? Terlalu mencolokkah warna kemejaku? Memang
saat itu, aku mengenakan kemeja berwarna ungu dan jeans 7/8 berwarna biru.
Tiba-tiba rokok yang ia pegang saat itu jatuh ke kainnya, saat itu ia memakai
kain(pakaian ke pura). Aku hanya tersenyum geli melihatnya, ia pun masih
terpaku melihatku. Hingga akhirnya…
“Andika,, kainmu terbakar…!!!”
teriak salah seorang temannya, membuatnya segera sadar lalu mengibaskan rokok
itu.
“Sialan…” gerutunya kecil.
Aku hanya tertawa kecil melihat
kejadian itu, sambil berpikir… “sebegitu mempesonakah aku???”. Bolehkan aku Ge-er?? Batinku.
Sejak kejadian itu, hubungan kami
semakin dekat. Hingga suatu saat,, dia menyanyikanku sebuah lagu Bali
favoritnya, dan menjadi favoritku juga! Hingga membuat jantungku bekerja
memompa 2 kali lipat, saking kuatnya berdebar. Lirik lagu yang sederhana, namun
sangat mengena…
“…Demi Adi, Beli akan lakukan yang
terbaik…
Demi Adi, I’ll do everything to
make you happy…”
***
Dua minggu berlalu sejak ia
menyanyikanku lagu itu, ia menghilang tanpa kabar sedikitpun. Aku sempat
mencoba menghubungi ponselnya, namun ponselnya sudah ‘tak aktif lagi. Aku mendengar kabar bahwa pamannya meninggal
dunia, karena itukah ia tak
menghubungiku?? Entahlah, perlahan aku mulai merasa kehilangan dirinya.
Sore itu sepulang sekolah, aku tak
pergi ke pantai untuk membantu bunda seperti biasanya. Karena aku tak mau
berharap ia akan datang, aku lelah berharap padanya. Aku hanya menonton drama
korea favoritku di rumah, tanpa memahami kisah dari drama korea itu, pikiranku
hanya dipenuhi oleh Andika. Hingga aku tak menyadari sebuah pesan singkat masuk
ke ponselku. Pada saat aku selesai mandi aku mengecek ponselku, ternyata ada
sebuah pesan singkat dari nomer yang tidak dikenal.
Temui
aku, di pantai hari ini. Jam 6 sore, oke?
_andika_
Aku tersentak kaget membaca pesan
singkat itu, berulang kali aku yakinkan diriku bahwa pesan itu nyata, bukan
sekedar khayalanku semata atau mimpi. Setelah aku yakin pesan itu nyata, aku
segera melihat jam di tanganku. Jam 7!!!
Aku terlambat satu jam!!! batinku, dengan segera aku berlari mengambil
motorku dan melesat ke pantai. Semoga ia
masih menungguku…
Sesampainya aku di pantai, aku tak
menemukan siapapun. Tak ada siapapun disana, sepi, hening, yang begitu tentram.
Apa ia telah pergi? Apa aku terlambat?
Batinku. Dengan lunglai aku melangkahkan kakiku ke sebuah kursi panjang di
bawah pohon camplung itu, terlihat sesosok pria sedang duduk disana. Aku tak
mempercayai penglihatanku, benarkah itu Andika? Langkahku semakin perlahan, aku
ragu untuk melanjutkan langkah kakiku lagi. Lalu pria itu berbalik, menyadari
kedatanganku.
“Kenapa terlambat?” tanyanya.
“Ada apa kau memanggilku kemari?”
tanyaku balik.
Hening sesaat.
“Hmm, aku hanya ingin
mengucapkan…selamat tinggal..” ucapnya lalu merengkuh tubuhku dalam dekapannya.
Aku tersentak kaget, sesaat tubuhku
membeku di pelukannya. Mencoba menahan air mataku agar ‘tak jatuh, aku tak
ingin terlihat lemah di depannya. Menunggu lanjutan dari kalimatnya yang
terpotong.
“Tapi.. sebelumnya, aku ingin mengatakan…” ia
diam sejenak mengatur tempo nafasnya. “Aku sangat menyanyangimu, Lita…”
bisiknya lirih.
Waktu seolah tak berdetak, lidahku
terasa kelu. Tak ada satupun kata terucap dari mulutku, aku merutuki diriku
sendiri. Lama berpelukan, perlahan pelukannya melemah, ia melepaskan pelukannya
dan pergi begitu saja. Meninggalkanku disini, sendiri. Dan sejak saat itu, aku
tak pernah bertemu lagi dengannya. Ia benar-benar pergi, meninggalkanku disini
sendiri bersama kenangan yang terukir abadi di hati. Tanpa sempat tanyakan aku,
cintakah aku padanya…